DETEKSI Listeria monocytogenes DI DALAM SUSU PATEURISASI DAN PENANGANANNYA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Listeria monocytogenes merupakan bakteri patogen pada manusia dan hewan. Bakteri ini berperan penting sebagai salah satu penyebab dari food borne disease yaitu penyakit yang ditularkan melalui makanan. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut listeriosis. L. monocytogenes terdistribusi luas di lingkungan, dapat ditemukan di tanah, feses ternak, air, pembusukan tanaman. Ternak yang terinfeksi L. monocytogenes umumnya tidak menunjukkan gejala sakit namun dapat mengkontaminasi lingkungan sekitarnya, makanan asal ternak seperti daging, susu, serta produk ternak lainnya (CDC, 2010).
Bakteri ini juga dapat ditemukan pada produk-produk makanan mentah seperti daging, susu segar, susu pasteurisasi, keju, coklat susu, hot dog, sayuran dan seafood. Kontaminasi dapat terjadi di peternakan, tempat pemotongan ternak, tempat pengolahan produk ternak, tempat pengawetan makanan, tempat penyimpanan, maupun selama proses transportasi (Abdelgadir et al., 2009).
Manusia dapat terinfeksi L. monocytogenes apabila mengkonsumsi produk pangan yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan hewan terinfeksi. Gejala klinis penyakit yang tampak pada manusia umumnya seperti demam, muntah, kelelahan, mual dan diare. Apabila listeriosis tidak diobati maka dapat berkembang menjadi bakteriemia dan meningitis.
Pada wanita hamil dapat menyebabkan terjadinya keguguran, bayi meninggal, bayi yang dilahirkan terinfeksi  meningitis. Pada anak-anak, orang tua, dan orang dewasa dengan sistem kekebalan yang lemah, bakteri dapat menyerang sistem syaraf pusat dan masuk ke dalam sirkulasi darah, menyebabkan pneumonia. Abses dan lesi pada kulit juga dapat terlihat. Perlu diketahui bahwa gejala klinis yang terlihat tergantung pada umur manusia, kondisi kesehatan dan strain bakteri yang menginfeksi (CDC, 2010).
Standar Nasional Indonesia telah menetapkan bahwa produk makanan asal hewan di Indonesia tidak boleh mengandung Listeria sp. karena L. monocytogenes merupakan salah satu penyebab penyakit yang serius dengan tingkat kematian mencapai 20-30%. Bakteri tersebut tahan terhadap panas, asam, garam dan dapat tumbuh pada suhu 4oC sehingga L. monocytogenes dapat ditemukan pada produk makanan yang sudah diolah. Kontaminasi pada produk pangan yang sudah diolah merupakan titik kritis untuk kesehatan manusia (Harsoyo dan Andini, 2002).

1.2.  Tujuan
Untuk mengetahui peranan L. monocytogenes sebagai patogen food borne diseases pada susu pasteurisasi serta bagaimana penanganan dan pencegahannya.

1.3.  Manfaat
Dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk penanganan dan  pencegahan kontaminasi L. monocytogenes di dalam produk olahan susu, misalnya susu pasteurisasi.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Listeria monocytogenes
Listeria awalnya diisolasi pada kelinci dan babi yang terinfeksi secara spontan pada tahun 1926 dan diberi nama Bacterium monocytogeneskarena memiliki gejala patognomonis berupa monositosis. Kemudia pada tahun 1940 seorang peneliti berhasil mengisolasinya dari hati seekor gerbile (sejenis hewan percobaan laboratorium) yang kemudian diberi nama umum Listeria. Selanjutnya dibedakan ke dalam 7 macam spesies: L. monocytogenes, L. innocua, L. welshimeri, L. seeligeri, L. ivanovii, L. grayi dan L. murrayi (Sutherland, 1989).
Listeria monocytogenes merupakan spesies yang dapat menginfeksi baik hewan maupun manusia. L. monocytogenes merupakan bakteri Gram positif, bersifat motil, berbentuk batang pendek, dapat berbentuk tunggal, tersusun paralel membentuk rantai pendek. Diameter sel berukuran 0,4 - 0,5 µm dan panjang 0,5 – 2,0 µm.
Pertumbuhan pada media agar dengan waktu inkubasi lebih dari 24 jam. Pada kultur yang lebih tua bakteri dapat berbentuk filamentous dengan panjang 6 -20 µm. Temperatur optimal untuk pertumbuhan 35 – 37oC. Bakteri ini mampu tumbuh pada suhu 1 – 50oC dan mampu bertahan hidup pada suhu pasteurisasi 72oC selama 15 detik dan dapat hidup pada pH 4,3 – 9,4 (Nadal et al., 200

Listeria monocytogenes bersifat intra seluler fakultatif, psikotrofil, dan mampu membentuk biofilm. Bakteri ini mempunyai flagella untuk dapat bergerak pada suhu 20 -25oC. Tidak membentuk spora, sangat kuat dan tahan terhadap efek mematikan dari proses pembekuan, pengeringan dan pemanasan (Abdelgadir, 2009).
Listeria monocytogenes tersebar luas di alam dan dapat ditemukan pada proses pembusukan tumbuh-tumbuhan, pada umumnya hidup di tanah sebagai saprofit tetapi dapat berubah menjadi patogen apabila tertelan oleh hewan atau manusia (Gorski et al., 2009). Selain terdapat di tanah, bakteri dapat ditemukan di air, silase (pakan ternak yang dibuat dari daun-daun hijau yang diawetkan dengan fermentasi) dan sumber-sumber alami lainnya (Churchill et al., 2006). Sayuran dapat terkontaminasi dari tanah atau pupuk yang mengandung bakteri L. monocytogenes (CDC, 2010).
Macam-macam spesies hewan/ternak dapat terinfeksi oleh L. monocytogenes. Bakteri ini telah ditemukan pada 37 spesies mamalia, baik hewan
piaraan maupun hewan liar, 17 spesies burung, beberapa spesies ikan dan kerang (Esteban et al., 2009). Ikan atau  produk  ikan olahan dapat terkontaminasi oleh polusi limbah baik dari lingkungan hidup ikan tersebut atau pada saat proses pengolahan (Abdelgadir et al., 2009).
Pada ruminansia, L. monocytogenes dapat menyebabkan penyakit gangguan syaraf dan aborsi tetapi secara umum hewan/ternak yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis. Bakteri dapat diekskresikan di dalam feses ternak dan berperan sebagai kontaminan baik di lingkungan peternakan maupun pada bahan pangan asal ternak yang dihasilkannya seperti susu dan daging.
Ternak babi dapat terinfeksi L. monocytogenes tetapi jarang berkembang menjadi penyakit, bakteri umumnya tidak diekskresikan dalam feses babi tetapi produk daging babi tersebut yang berperan terhadap infeksi yang terjadi pada manusia. Daging babi yang terkontaminasi L. monocytogenes saat proses pemotongan atau pengolahan dapat berperan kembali dalam mengkontaminasi babi-babi yang sehat. Suatu penelitian melaporkan sebanyak 46,3% L. monocytogenes dapat ditemukan di peternakan sapi, 30,6% pada daging sapi, 14,2% pada sekelompok ternak domba (Esteban et al., 2009).
Listeria monocytogenes dapat ditemukan pada karkas ayam dengan prevalensi 15 – 35%, bakteri tersebut juga dapat tumbuh dan berkembang pada daging yang disimpan pada suhu 0 – 8oC tanpa divakum dan dalam 10 hari jumlah selnya mencapai 108 – 109 sel/gram. Bakteri L. monocytogenes juga dapat ditemukan pada 31 dari 200 sampel feses (15,5%) di peternakan ayam petelur (Rivoal et al., 2010).

2.2.      Susu Pasteurisasi
Susu pasteurisasi adalah susu sapi segar yang diolah melalui proses pemanasan dengan tujuan mencegah kerusakan susu akibat aktivitas mikroorganisme perusak (patogen) dengan tetap menjaga kualitas nutrisi susu.
Metode  pengolahan ini merupakan cara yang paling efektif dalam menjaga kemurnian  nutrisi susu sapi segar tanpa tambahan  zat apapun sehingga umur simpan produk menjadi lebih pendek dibanding produk  olahan  susu lainnya seperti susu UHT (Ultra High Temperature), susu bubuk, dan susu kental manis.
pasteurisasi adalah proses pemanasan setiap komponen (partikel) dalam susu pada suhu 62oC selama 30 menit, atau pemanasan pada suhu 72oC selama 15 detik, yang segera diikuti dengan proses pendinginan.
Ada 2 macam cara pasteurisasi yaitu:
1. Pasteurisasi lama (LTLT= Low Temperature Long Time) dengan suhu 62oC- 65oC selama 30 menit
2.   Pasteurisasi sekejap (HTST= High Temperature Short Time) dengan suhu 85oC – 95oC selama 1-2 menit
3.   Susu UHT (ultra high temperature) merupakan susu yang diolah menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang singkat (135-1450 C) selama 2-5 detik. Pemanasan dengan suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme (baik pembusuk maupun patogen) dan spora. Waktu pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu  segarnya.

Metode-metode tersebut diatas banyak sekali modifikasinya, baik dalam penggunaan tinggi-rendahnya suhu dan pendek-lamanya waktu pasteurisasi, tergantung pada tujuan proses pasteurisasi dikehendaki.
Perlakuan panas dapat mempengaruhi kandungan lysin dalam susu pasteurisasi, seperti yang tertera pada tabel berikut:

Tabel 1. Pengaruh perlakuan panas terhadap kehilangan lysine
                      Perlakuan Panas
Rata-rata kehilangan lysine (%)
Susu pasteurisasi
UHT langsung
UHT tidak langsung
Sterilisasi dalam polyethylene
Terilisasi dalam gelas (kaca)
1,8
3,8
5,7
8,9
11,3

Pengaruh suhu terhadap vitamin yang terlarut di dalam air pada susu dapat dilihat pada tabel 2. Sebagai berikut:

Tabel 2. Pengaruh suhu pengolahan susu terhadap vitamin yang larut di dalam air pada susu.
Perlakuan Panas
Kehilangan (%)
Vit. B12
Asam folat
Vit. C
Susu pasteurisasi
UHT langsung
UHT tidak langsung
Sterilisasi dalam polyethylene
Sterilisasi dalam gelas (kaca)
4,6
16,8
30,1
36,5
39,0
7,3
19,6
35,2
45,6
54,8
12,8
17,7
31,6
50,0
66,5

Tujuan Pasteurisasi:
a.  Untuk membunuh bakteri pathogen, yaitu bakteri-bakteri yang berbahaya karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia
b. Untuk membunuh bakteri tertentu yaitu dengan mengatur tingginya suhu dan lamanya waktu pasteurisasi
c. Untuk mengurangi populasi bakteri dalam bahan susu
d. Untuk mempertinggi atau memperpanjang daya simpan bahan
e. Dapat memberikan atau menimbulkan cita rasa yang lebih menarik konsumen
f. Pada pasteurisasi susu, proses ini dapat menginaktifkan fosfatase dan katalase, yaitu enzim-enzim yang membuat susu cepat rusak

 
BAB III
METODE

3.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari literatur, studi kepustakaan, dan jurnal-jurnal penelitian yang berhubungan dan mendukung penulisan makalah.

3.2 Metode Pengumpulan Data
                   Metode pengumpulan data menggunakan metode studi dokumentasi. Studi dokumentasi merupakan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis, dibandingkan dan dipadukan membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh.  


BAB IV
PEMBAHASAN

Pasteurisasi adalah salah satu proses terpenting dalam penanganan susu. Apabila dilakukan dengan benar, proses ini membuat susu memiliki umur simpan lebih lama. Suhu dan waktu pasteurisasi adalah faktor penting yang harus diukur dengan akurat, untuk menentukan kualitas susu dan kondisi umur simpannya. Persyaratan umum proses pasteurisasi di seluruh negara adalah sama dimana proses pemanasan harus menjamin musnahnya mikroorganisme dan semua bakteri patogen yang tidak diinginkan, tanpa merusak produk tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa susu pasteurisasi adalah susu yang telah mengalami pemanasan pada pada suhu 620 C selama 30 menit, atau pemanasan susu pada suhu 720 C selama 15 detik. Berdasarkan sumber diatas juga dijelaskan bahwa bakteri L. monocytogenes mampu tumbuh pada suhu 1 -50oC dan masih mampu bertahan hidup pada perlakuan pasteurisasi dengan suhu 72oC selama 15 detik. dan dapat hidup pada pH 4,3 – 9,4 (Nadal et al., 2007)
Listeria monocytogenes dapat membentuk biofilm pada permukaan biologis dan non-biologis yang ditandai dengan terlihatnya lapisan berlendir pada
permukaan tersebut. Kondisi ini sangat penting bagi beberapa industri terutama industri makanan. Bakteri patogen yang membentuk biofilm pada alat pemrosesan
makanan dapat bertahan hidup dan apabila alat tidak dibersihkan, maka dalam perkembangannya bakteri tersebut dapat terlepas dari permukaan dan mengkontaminasi produk akhir pada saat proses produksi belum berlangsung (Frank dan Kofti, 1990).
Walaupun jumlah sel biofilm yang ditemukan dengan konsentrasi yang sangat rendah namun kehadirannya perlu dipertimbangkan, mengingat ketahanannya yang jauh lebih tinggi terhadap kondisi-kondisi ekstrim seperti tahan panas, bahan-bahan kimia, deterjen, biosida dan antibiotika. Bentuk biofilm pada permukaan biasanya sulit untuk didekontaminasi. Hal ini dapat terjadi akibat pembentukan matriks ekstraseluler yang berfungsi selain sebagai penguat pelekatan juga dapat melindungi sel dari kondisi yang kurang menguntungkan (Costerton et al., 1987).
Bakteri L. monocytogenes dapat memproduksi enzim yang disebut listeriolisin O. Enzim listeriolisin O merupakan fakor utama pada proses patogenesis L. monocytogenes. Pembentukan enzim ini terutama terjadi selama fase ekponensial dari pertumbuhan bakteri dengan level maksimum 8 – 10 jam. Selain dipengaruhi oleh pH, pembentukannya sangat tergantung pada suhu dan kandungan glukosa. Pembentukan LLO paling baik pada suhu 37oC dengan kandungan glukosa 0,2%, pembentukannya akan berkurang pada suhu 26oC. dengan kandungan glukosa yang tinggi.
Pada kondisi suhu aerobik atau anaerobik (35°C) dengan konsentrasi sorbat 2%, pembentukan LLO akan dihambat. Enzim LLO mampu memproduksi ß hemolisis pada media agar darah dan memfermentasi rhamnose tetapi tidak mampu memfermentasi xylose dan mampu merusak sel fagositik yang menelannya.
Enzim LLO dapat diaktivasi oleh komponen SH seperti sistein, sebaliknya LLO akan dihambat oleh adanya kolesterol dan tidak stabil pada kondisi pH netral. Sekresi protein ini dapat digunakan sebagai indikator keberadaan bakteri L. monocytogenes dalam sampel makanan (CARY et al., 2000).
Metode-metode yang digunakan untuk mendeteksi L. monocytogenes antara lain:
1.      Metode konvensional
Metode ini dilakukan dengan menggunakan teknik isolasi dan identifikasi untuk menentukan agen penyebab utama. Metode ini menggunakan media selektif untuk L. monocytogenes untuk mencegah pertumbuhan kontaminan, biasanya juga dengan penambahan antibiotik. Bentuk koloni yang muncul kecil, bulat, halus dan ada zona hitam di sekeliling koloni bakteri karena terdapat degradasi aeskulin, dengan pewarnaan Gram menunjukkan warna ungu (Gram positif) dan berbentuk batang. Kemudian dikonfirmasi dengan melakukan identifikasi secara fisik, biokemis, dan serologis (Abdelgadir et al., 2009).
   
1.      Metode deteksi cepat
Dalam industri susu sangat diperlukan metode deteksi secara cepat terhadap keberadaan L. monocytogenes, karena sampel susu tidak dapat disimpan lama. Alat yang digunakan untuk mendeteksi secara cepat berupa mesin yang dapat mendeteksi berbagai macam patogen penyebab food borne diseases termasuk Listeria spp.
Deteksi dengan metode cepat ini memiliki tingkat kepercayaan 90 - 100% tergantung pada sistem yang digunakan. Namun uji biokemik masih diperlukan untuk mengetahui jenis spesies Listeria spp (Churchill et al., 2006).
2.      Metode deteksi molekuler
Metode deteksi molekuler merupakan metode yang lebih sensitif dibanding metode konvensional. Salah satu contoh metode deteksi molekuler yaitu dengan PCR. Metode dapat mengkarakterisasi patogen lebih lanjut setelah patogen tersebut terisolasi dari sampel makanan.
Prinsip kerja metode ini adalah dengan mendeteksi adanya gen yang mengkode produksi toksin LLO pada L. monocytogenes. Metode ini dilakukan lebih cepat dalam waktu sekitar 1 - 60 jam tergantung jenis metode molekuler yang digunakan (Abdelgadir et al., 2009).

Upaya pengendalian kontaminan L. monocytogenes pada bahan pangan asal hewan seperti susu pasteurisasi dapat dilakukan melalui pencegahan terhadap penyebaran bakteri tersebut dengan cara mencegah terjadinya kontaminasi bakteri L monocytogenes selama proses pengolahan susu maupun pada saat penyimpanan sebelum dikonsumsi (Soeharsono, 2002).
Sebuah penelitian juga dilakukan menggunakan susu pasteurisasi yang disimpan pada suhu refrigerator 4oC selama 7 hari menunjukkan hasil yang positif terhadap pertumbuhan bakteri L. monocytogenes. Hal ini sesuai dengan sifat pertumbuhan bakteri L. monocytogenes yang bersifat psikrofilik yaitu mampu bertahan hidup pada perlakuan pendinginan dengan suhu rendah 0 – 20oC. Oleh karena itu L. monocytogenes tetap dapat tumbuh pada suhu refrigerator.
Untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit listeriosis adalah dengan menghindari minum susu mentah atau tanpa pasteurisasi dengan suhu dibawah 72oC apabila susu tersebut dicurigai terkontaminasi oleh L. monocytogenes. Oleh karena itu sebaiknya susu dipasteurisasi pada suhu 75oC, karena pada suhu tersebut sudah dapat membunuh L. monocytogenes. Selain itu penyimpanan susu di dalam refrigerator tidak lebih dari 7 hari (Sanjaya et al., 2009).


BAB V
KESIMPULAN

Listeria monocytogenes merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit listeriosis. Bakteri ini pernah dideteksi mampu bertahan hidup pada produk susu pasteurisasi pada suhu pemanasan 72oC selama 15 detik. bakteri ini juga mampu tumbuh pada suhu refrigerator 4oC pada proses penyimpanan selama 7 hari.
Untuk pencegahan terinfeksi penyakit listeriosis maka disarankan untuk melakukan pasteurisasi pada suhu 75oC pada produk susu yang dicurigai terkontaminasi L.monocytogenes karena pada suhu tersebut sudah mampu membunuh bakteri. Selain itu tidak disarankan untuk menyimpan susu pada suhu refrigerator selama lebih dari 7 hari.
 

DAFTAR PUSTAKA

Abdelgadir, A.M.M.A., K.K. Srivastava and P.G. Reddy. 2009. Detection of Listeria monocytogenes in readyto- eat meat products. Am. J. Anim. Vet. Sci. 4(4): 101 – 107.

Cary, J.W., J.E. Linz and D. Bhatnagar. 2000. Microbial foodborne diseases: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis. First Edition. Technomic Publishing Company Inc. New Holland Avenue, Lancester, Pennsylvania, USA. pp. 295 – 316.

CDC (CENTERS FOR DISEASE CONTROL dan PREVENTION). 2010. Listeria monocytogenes. www.ksfoodsafety.org.

Churchill, R.L.T., H. Lee and J.C. Hall, 2006. Detection of Listeria monocytogenes and the toxin listeriolysin O in food. J. Microbiol. Methods 64: 141 – 170.

Costerton, J.W., T.J. Marrie and K.J. Cheng. 1987. Bacterial biofilms in nature and disease. Annu. Rev. Microbiol. 41: 435 – 464.

Esteban, J.I., B. Oporto, G. Aduriz, R.A. Juste and A. Hurtado, 2009. Faecal shedding and strain diversity of Listeria monocytogenes in healthy ruminants and
swine in Northern Spain. BMC Vet. Res. 5: 2 – 10.

Frank, J.F. and R.A. Kofti. 1990. Surface adherent growth of Listeria monocytogenes associated with increased resistance to surfactant sanitizers and heat. J. Food Proto 53: 550 – 554

Gorski, L., J.M. Duhé and D. Flaherty. 2009. The use of Flagella and motility for plant colonization and fitness by different strains of the foodborne pathogen Listeria monocytogenes. PLos One. 4(4): e5142. doi: 10.1371/journal.phone.0005142. (8 Maret 2010).

Harsoyo dan L. Andini. 2002. Pengaruh iradiasi dan penyimpanan Listeria monocytogenes yang diinokulasi pada daging kambing. Pros. Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.

Nadal, A., A. Coll, N. Cook and M. Pla. 2007. A molecular beacon-based realtime NASBA assay for detection of Listeria monocytogenes in food products: Role of target mRNA secndary structure on NASBA design. J. Microbiol. Methods 68: 623 – 632.

Rivoal, K., S. Qu̩guiner, E. Boscher, S. Bougeard, G. Ermel, G. Salvat, M. Federighi, F. Jugiau and J. Protais. 2010. Detection of Listeria monocytogenes in raw and pasteurized liquid whole eggs and characterization by PFGE. Int. J. Food Microbiol. 138: 56 Р62.

Sanjaya A, W., Sudarwanto M, and Robert K.  2009. Detection of Listeria Monocytogenes in Pasteurized Mil Sold In Bogor and Its Relationship With Human Health. Faculty of Veterinary Medicine; Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soeharsono, 2002. Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta hlm. 45 – 47.

Sutherland, P.S. 1989. Listeria monocytogenes. In: Foodborne Microorganisme of Public Health Significance, Fourth Edition Food Microbiol. Group pp. 289 – 311.





Pages - Menu

Blogroll

Blogger templates

Blogger news