FAKTOR GENETIK KETAHANAN TERHADAP SUATU PENYAKIT DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKTIFITAS TERNAK

BAB I
 PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Usaha untuk meningkatkan produktifitas ternak di negara berkembang biasanya dibatasi oleh dua hal, yaitu nutrisi dan kesehatan. Rendahnya produktifitas di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dipengaruhi oleh rendahnya efisiensi pakan dan manajemen, dan keterbatasan terutama karena penyakit.
Penyakit infeksius merupakan penyakit yang disebabkan oleh berbagai macam agen biologis (bakteri, virus, dan parasit), bukan oleh faktor fisik ataupun kimia. Penyakit-penyakit infeksius telah terbukti sangat merugikan di dalam usaha peternakan karena biaya untuk pencegahan penyakit maupun pengobatan untuk ternak yang sakit merupakan komponen biaya produksi yang cukup besar.
Penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri akan mudah sekali menular baik secara kontak langsung maupun melalui perantara benda-benda lain dan sangat ditakuti oleh peternak karena keganasannya serta kemungkinan zoonosis. Penularannya bisa sangat cepat dan langsung menyebabkan kematian ternak secara mendadak dalam jumlah yang banyak sehingga dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi peternak.
Berbeda halnya dengan penyakit yang disebabkan oleh parasit seperti cacing, penyakit ini berbeda dengan penyakit ternak yang disebabkan oleh virus dan bakteri, karena kerugian ekonomi yang disebabkan oleh virus dan bakteri dapat diketahui dengan mudah melalui kematian ternak. Kerugian utama akibat penyakit parasit adalah kekurusan, terlambatnya pertumbuhan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit lain dan gangguan metabolisme. Parasit gastrointestinal menyebabkan penurunan produksi ternak secara luas dan sering diabaikan sehingga dapat menyebabkan kerugian pada hewan muda.
Seiring dengan kemajuan taraf berfikir masyarakat saat ini, semakin bertambah pula desakan konsumen terhadap produk-produk pangan yang bebas dari bahan kimia dan menuntut agar industri pengolahan pangan asal ternak mengurangi penggunaan obat-obatan dalam menangani penyakit ternak. Hal-hal tersebut mendesak para ahli dibidang peternakan agar mencari cara-cara alternatif dalam menanggulangi masalah penyakit pada usaha peternakan.
Berbagai program pemuliaan telah dikembangkan dalam rangka meningkatkan produktifitas ternak. Salah satunya yang paling diminati adalah pendekatan genetis dibidang biologi molekuler yaitu program pemuliaan untuk meningkatkan ketahanan ternak terhadap serangan penyakit. Penelitian genetika dari ketahanan suatu penyakit dapat digunakan sebagai alternatif dalam meningkatkan produktifitas dan sekaligus mengurangi biaya produksi.
Program genetis ketahanan terhadap penyakit sangat penting terutama untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia yang umumnnya pemeliharaan ternak masih dilakukan secara tradisional dan dalam skala usaha kecil dimana pengoatan dan vaksinasi sulit dilakukan dan mahal. Keragaman genetik yang cukup besar pada ternak terhadap serangan penyakit atau toleransi ternak terhadap berbagai infeksi penyakit dapat terlihat jelas di dalam populasi. Hal ini menunjukkan adanya potensi untuk melakukan seleksi ternak terhadap ketahanan penyakit (Bishop et al., 2002).

1.2.  Tujuan
Untuk mengetahui hubungan faktor hereditas ternak ketahanan terhadap suatu penyakit dan pengaruhnya terhadap produktifitas ternak.

1.3.  Manfaat
Dapat di manfaatkan sebagai dasar dalam pengembangan pemuliaan untuk menangani masalah penyakit yang selalu muncul dan sangat merugikan industri peternakan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peran Genetika
Peran penerapan ilmu-ilmu genetika dalam pemuliaan ternak dalam tujuan untuk memperbaiki mutu genetik ternak. Sehingga dapat meningkatkan produksi atau memberikan nilai tambah dalam pelaksanaannya. Genetika berkembang baik sebagai ilmu murni maupun ilmu terapan. Cabang-cabang ilmu ini terbentuk terutama sebagai akibat pendalaman terhadap suatu aspek tertentu dari objek kajiannya.
Cabang-cabang murni genetika :
Cabang-cabang terapan genetika :
Rekayasa genetika merupakan penerapan ilmu genetika dengan tujuan untuk pemuliaan hewan melalui seleksi dalam populasi. Dalam batasan yang lebih sempit merupakan penerapan teknik-teknik biologi molekular untuk mengubah susunan genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik yang diarahkan untuk manfaat tertentu.
Ilmu genetika terkait dengan aspek penurunan sifat dari tetua kepada keturunannya, termasuk dalam hal ini adalah konsep-konsep hukum Mendel. Statistika dan biometrika berperan dalam pengukuran keragaman sifat dan penyebarannya, hubungan antara dua sifat atau lebih, serta analisis untuk pendugaan parameter-parameter genetik. Reproduksi terkait dengan aspek fertilitas, kebuntungan, jarak beranak dan kelahiran.
Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui perbaikan lingkungan (mutu pakan dan tatalaksana) serta program pemuliaan. Peningkatan mutu genetik melalui program pemuliaan dapat dilakukan dengan perkawinan silang (persilangan) dan program seleksi. Seleksi dan persilangan merupakan dua metode yang dapat dilakukan dalam perbaikan mutu genetik untuk meningkatkan produktivitas ternak. Jadi secara sederhana pemuliaan ternak merupakan kombinasi antara pengaruh faktor genetik, tatalaksana pemeliharaan dan faktor keberuntungan. Untuk memperoleh bibit unggul harus melalui pemuliaan yang meliputi kegiatan identifikasi, pencatatan, perkawinan, seleksi dan culling.

2.2. Pendekatan Seleksi
Suatu program seleksi dalam pemuliaan untuk ketahanan terhadap suatu penyakit memerlukan prosedur infeksi secara sengaja dari patogen penyebab penyakit, sehingga menimbulkan masalah etis yang perlu dipikirkan. Oleh karena itu pendekatan molekuler lebih banyak diminati. Seleksi merupakan salah satu program yang dipertimbangkan dan memiliki pengaruh yang luas terhadap populasi terseleksi. Sehingga perlu diketahui terlebih dahulu jalur infeksi dari suatu penyakit (Nicholas, 2003).
Jalur infeksi melibatkan populasi host dan sumber infeksi, baik itu antara sumber infeksi ke host atau host ke host atau host ke sumber infeksi lagi. Jalur-jalur infeksi tersebut dapat membantu dalam memahami dampak epidemiologis seleksi terhadap ketahanan penyakit.hasil seleksi alami suatu populasi akan memberikan tantangan yang lebih besar kepada patogen jika dibandingkan dengn resistensi yang dihasilkan oleh seleksi buatan. Sehingga menimbulkan kemungkinan untuk memasukkan gen resisten dari bangsa dengan resistensi alami ke dalam populasi komersial (Nicholas, 2003).
Pengaruh keanekaragaman genetik terhadap penyebaran suatu penyakit menular menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat keragaman genetik populasi ternak maka semakin tinggi peluang terjadinya dampak penyakit yang parah. Sehingga seleksi tidak hanya diarahkan pada homozigositas pada semua lokus yang dapat mempengaruhi resistensi (Springbett et al., 2003).
Resistensi pada umumnya merupakan kekebalam bawaan (sistem pertahanan non spesifik), dan setiap gen yang terlibat dalam setiap bentuk kekebalan bisa saja memberi kontribusi terhadap keragaman genetik resistensi. Struktur DNA dan perkembangan genetika molekuler telah memungkinkan para peneliti untuk dapat mengidentifikasi potongan DNA serta urutan basanya yang diduga sebagai penyebab keragaman genetik sifat kualitatif maupun kuantitatif (Nicholas, 2003).
Untuk penyakit-penyakit endemik yang selalu eksis dalam sistem produksi seperti mastitis dan helminthosis memungkinkan dilakukan seleksi berdasarkan respon fenotipe terhadap penyakit. Misalnya pada kasus mastitis jumlah sel somatik dalam susu merupakan indikator dari infeksi bakteri atau kasus klinis dapat digunakan sebagai indikator fenotipe suatu penyakit. Parasit yang resisten terhadap anthelmintik merupakan salah satu masalah besar dalam sektor peternakan di berbagai negara termasuk Indonesia, oleh karena itu program breeding ternak secara selektif berdasarkan FEC merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kebutuhan anthelmintik (Bishop et al., 2004).
Untuk penyakit-penyakit epidemik perlu dikembangkan teknik seleksi berdasarkan marka allele yang berhubungan dengan peningkatan resistensi penyakit. Seleksi resistensi berdasarkan spesifik B alleles dalam komplek jaringan kesesuaian utama (MHC) telah digunakan untuk membantu dan memanajemen penyakit, contohnya penyakit marek (Bishop et al., 2004).

 
BAB III
METODE

3.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari literatur, studi kepustakaan, dan jurnal-jurnal penelitian yang berhubungan dan mendukung penulisan makalah.

3.2 Metode Pengumpulan Data 
Metode pengumpulan data menggunakan metode studi dokumentasi. Studi dokumentasi merupakan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis, dibandingkan dan dipadukan membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh.   

BAB IV
PEMBAHASAN

               Penyakit ternak berpengaruh buruk pada produksi ternak di seluruh dunia.pilihan untuk mengatasinya yaitu dengan pengobatan secara kimiawi, vaksinasi, mengontrol vektor penyakit, dan metode manajemen yang sesuai. Akan tetapi ada masalah dalam strategi tersebut yang meliputi dampak lingkungan dan keamanan pangan akibat perlakuan kimia, kemampuan dan akses peternak terhadap pengontrolan penyakit, dan evolusi agen yang tahan terhadap perlakuan yang diberikan.
                   Pada berbagai penyakit ternak telah ditemukan adanya variasi genetik dalam tingkat kerentanan ternak terhadap penyakit. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen genetika pada penyakit. Pertama, ketahanan atau resisten yang menunjkkan kemampuan tubuh ternak untuk menahan infeksi. Kedua: toleran yang menunjukkan keadaan dimana ternak yang terinfeksi oleh agen patogen tetapi hanya sedikit menderita akibat penyakit.
                   Manajemen genetik untuk meningkatkan ketahanan atau toleran terhadap penyakit merupakan alat tambahan untuk pengendalian penyakit ternak. Berikut beberapa keuntungan dari menyatukan unsur-unsur genetik pada strategi manajemen penyakit yang telah diketahui (FAO, 1999) adalah:
·         Adanya perubahan genetik secara permanen begitu di kembangkan
·         Adanya efek konsistensi
·         Hilangnya keperluan untuk membeli berbagai input jika suatu efek sudah berhasil dikembangkan
·                           Keefektifan dari metode lain menjadi lama karena kurangnya tekanan pada munculnya ketahanan (resistance). Kemungkinan adanya efek spektrum yang lebih luas (menigkatnya ketahanan terhadap lebih dari satu penyakit. Kemungkinan berkurangnya dampak pada evolusi macroparasites seperti helminth, dibanding dengan strategi lain seperti kemoterapi atau vaksinasi. Bertambahnya keragaman strategi pada manajemen penanganan penyakit.

Manajemen genetik penyakit dapat diaplikasikan dengan strategi yang dapat mencakup pemilihan breed yang sesuai dengan lingkungan produksi. Persilangan untuk memasukkan gen pada breed yang sudah beradaptasi sesuai dengan tujuan pemeliharaan dan pemilihan individu yang mempunyai level ketahanan atau toleransi penyakit yang tinggi. Pendekatan terakhir jika marker genetik molekuler yang berhubungan dengan sifat yang diinginkan telah diidentifikasi. Titik awal pada semua strategi tersebut adalah keragaman genetik (diversity) pada populasi ternak (Springbett et al., 2003).
Tabel 1. Beberapa studi yang menunjukkan perbedaan breed dalam resistensi atau toleransi terhadap penyakit spesifik
  
Penyakit
parasit
Breed yang menunjukkan ketahanan lebih besar
Breed pembanding
Kondisi percobaan
Hasil
Pustaka
Trypanosoma
Congolense









Ticks (Amblyomma
variegatum;
Hyalomma spp.)

Ticks (berbagai
spesies)




Theileria annulata


Anaplasma
marginale; ticks
(berbagai species)


Haemonchus
Contortus




Haemonchus
Contortus










Haemonchus
Contortus




Fasciola gigantica


Fasciola gigantica


Sarcocystismiesch
eriana




Ascaridia galli



Foot rot (kaki
busuk)




Foot rot (kaki
busuk)





Newcastle Disease
virus, Infectious
Bursal Disease
Domba
Djallonke









Sapi N’Dama




Sapi N’Dama





Sapi Sahiwal



Sapi N’Dama




Sapi N’Dama





Domba Red
Masaai










Domba Santa
Ines




Domba ekor
tipis Indonesia


Domba ekor tipis Indonesia


Babi Meishan





Ayam Lohman
Brown


Domba
persilangan
East Friesian ×
Awassi


Domba
Romney Marsh,
Dorset Horn,
Border
Leicester

Ayam
Mandarah
Persilangan
breed Djallonke
× Sahelian








N’Dama × Zebu




Zebu





Holstein-
Friesian


Zebu Gobra




Zebu





Doper











Ile de France,
Suffolk




Merino



St Croix



Piétrain





Danish
Landrace


Breed murni
Awassi




Peppin Merino,
Saxon Merino





Gimmazah,
Sinah,Dandrawi
(Breed alami di
Mesir)
Inseminasi buatan









Kondisi di
lapangan di
Gambia


Sekelompok ternak
di pedesaan di
Gambia

Inseminasi buatan


Kondisi lapangan
di Gambia


Sekelompok ternak
di pedesaan di
Gambia

Domba yang
dipelihara pada
kondisi lapangan
pada pantai subhumid
Kenya




Domba merumput/ di
Sao Paulo State SE
Brasil

Infeksi buatan



Infeksi buatan



Infeksi buatan





Infeksi buatan



Wabah alami di
Israel



Penularan alami
pada padang
rumput yang
diirigasi di Australia

Infeksi buatan
Tingkat parasit yang lebih rendah, periode
prepaten yang lebih panjang dan respons
antibodi yang lebih tinggi dibandung
persilangannya tetapi breed persilangannya
masih lebih besar dan tumbuh lebih cepat

Ticknya lebih sedikit




Ticknya lebih sedikit





gejala klinis yang kurang parah


Prevalensi serologi dari A. Marginale lebih
rendah; ticks.lebih sedikit


Lebih sedikit cacing di usus, FEC* lebih
Rendah



Domba menunjukkan FEC lebih rendah
untuk H. Contortus, lebih tinginya PVC,
lebih rendahnya kematian anak dibanding
domba Dorper. Diperkirakan 2 atau 3 kali
lebih produktif dibanding Dorper dalam
kondisi tersebut

FEC lebih rendah, PCV** lebih tinggi, lebih
sedikit hitungan jumlah cacing
 

Jumlah Flukes dari hati yang lebih rendah;
perbedaan respon imunitas

Lebih sedikit parasit yang didapat dari hati


Dalam hal indikasi klinis, serologi,
hematologi dan parasitologi pengaruh
serangan kurang parah

Lebih rendahnya gangguan dan
pengeluaran telur cacing

Prevalensi lebih rendah





Lesi kurang serius, lebih cepat sembuh





Tingkat mortalitas lebih rendah dibanding
breed lain
Goosens et
al., (1999)









Mattioli et al.,
(1993)


Claxton and
Leperre
(1991)



Glass et al.,
(2005)


Mattioli et al.,
(1995)


Claxton and
Leperre
(1991)



Baker (1998)











Amarante et
al., (2004)




Hansen et al.,
(1999)

Roberts et al.,
(1997)

Reiner et al,.
(2002)




Permin and
Ranvig (2001)

Shimshony
(1989)




Emery et al.,
(1984)





Hassan et al,.
(2004)


Tabel 2. Breed mamalia yang resisten atau toleran terhadap penyakit atau parasit spesifik.
Penyakit
Kerbau
Sapi
Kambing
Domba
Babi
Kuda
Rusa
Trypanosomiasis
Tick Infestation/ burden
Tick-borne disease (unspecified)
·  Anaplasmosis
·  Piroplasmosis/Babesiosis
·  Heartwater/Cowdriosis
Internal parasites/worms
Fascioliasis
Bovine leucosis
Foot rot (Bacteroides nodusos)
Total*
-
1
-
-
-
-
1
2
-
-
4
17
17
4
2
4
1
2
-
9
1
59
4
-
-
-
-
-
1
-
-
-
6
4
1
-
-
-
1
9
1
-
14
33
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
3
-
-
-
-
-
1
2
-
-
-
5
-
1
-
-
-
-
2
-
-
-
2
 






 
 
4.1. Trypanosomiasis
Trypanosomiasis merupakan penyakit yang ditularkan oleh lalat Tsetse, salah satu lalat yang paling penting dalam masalah kesehatan hewan di benua Afrika. Terjadi terutama di Afrika barat dan Afrika Tengah dan bagian Timur Afrika. Tipe lain trypanosomiasis juga merupakan problem besar baik di Afrika maupun di wilayah lain. Ketahanan terhadap parasit dikaitkan dengan obat trypanocidal, dan keberlanjutan problem terkait dengan implementasi untuk mengontrol lalat Tsetse, meningkatkan keinginan untuk menggunakan metode kontrol secara terintegrasi meliputi penggunaan tipe breed ternak yang toleran terhadap penyakit (FAO, 2005). Breed yang paling toleran terhadap trypanosoma meliputi sapi N’Dama dan sapi tanduk pendek West African, juga kambing dan domba Djallonke. Meskipun ukuran tubuhnya lebih kecil, hasil studi menunjukkan bahwa breed tersebut lebih produktif dibanding breed yang rentan terhadap tantangan Tsetse dari tingkat moderate sampai tinggi (Agyemang et al., 1997).

4.2. Penyakit Tick
Ticks merupakan masalah yang sukup luas dalam peternakan, terutama di negara tropis. Ticks sendiri juga melemahkan ternak melalui pengisapan darah, dapat menyebabkan kelumpuhan melalui injeksi toxin yang desekresikan dalam saliva, merusak kulit, membuat infeksi kedua. Lebih lanjut, ticks juga menyebarkan sejumlah penyakit serius, yang paling jelas adalah Anaplasmosis, Babesiosis, Theileriosis dan Cowdriosis (heartwater).
Spesies tick terdistribusi lebih luas dibanding yang lain. Resistensi atau toleransi pada tick, dan pada tingkat yang lebih rendah terhadap penyakit tickborne, terdokumentasi dengan baik. Contohnya, sejumlah studi mengindikasikan bahwa sapi N’Dama lebih resisten yang lebih tinggi pada tick dibanding sapi Zebu (Claxton and Leperre, 1991). Contoh lain diberikan oleh hasil studi di Australia menemukan bahwa breed murni sapi Bos indicus kurang rentan terhadap Babesiosis dibanding dengan persilangan Bos indicus × Bos taurus (Bock et al., 1999). Pada kasus Theileriosis yang disebabkan oleh Theileria annulata, anak sapi Sahiwal, breed asli India, ditemukan kurang menderita terhadap serangan theileriosis dibanding anak sapi Friesian Holstein pada waktu diinfeksi penyakit ini (Glass et al., 2005).

4.3. Parasit Internal
Helminthosis merupakan salah satu masalah kesehatan hewan yang paling serius yang dapat mempengaruhi sebuah peternakan. Resitensi atau toleransi terhadap Haemonchus contortus, cacing nematoda yang ada dimana-mana yang menginfestasi perut ternak ruminansia, menjadi subjek studi. Breed domba Red Maasai contohnya, terkenal karena resistensinya terhadap cacing saluran pencernaan. Studi yang dilakukan di kondisi lapangan di area pantai subhumid Kenya memperlihatkan bahwa domba Red Maasai menunjukkan jumlah telur cacing yang rendah untuk Haemonchus contortus, dan kematian yang lebih rendah dibanding anak domba Dorper (breed lainnya yang banyak dipelihara di Kenya). Domba Red Maasai diperkirakan 2 – 3 kali lebih produktif dari pada domba Dorper dalam kondisi subhumid, dimana parasit lebih menyukai kondisi ini (Baker, 1998).
Ketahanan yang lebih besar dan produktivitas yang lebih tinggi ditemui pada kambing kecil Afrika Timur dibanding dengan breed kambing Galla dalam kondisi yang sama. Ditemukan juga bukti ilmiah untuk resistensi atau toleransi terhadap serangan cacing hati Fasciola gigantica, yang merupakan parasit yang tersebar luas. Contohnya domba ekor tipis Indonesia menunjukkan resistensi yang besar dibanding breed St. Croix dan Merino (Roberts et al., 1997).

4.4. Foot Rot
Foot rot merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri di kuku ternak yang dapat menular dan menyebabkan kepincangan yang parah serta dapat menyebakan kerugian ekonomi yang serius, khususnya untuk peternak domba. Lebih sering terjadi di daerah beriklim dingin. Ada bukti bahwa sebagian breed lebih resisten terhadap penyakit ini dibanding yang lain. Studi yang dilakukan di Australia menunjukkan bahwa pada saat terkena infeksi alam pada hijauan yang diirigasi, breed domba Inggris Romney Marsh, Dorset Horn dan Border Leicester lebih tahan terhadap foot rot (dimanifestasi dari luka yang lunak dan lebih cepat sembuh) dibanding breed domba Peppin dan Saxon Merinos (Emery et al., 1984). Demikian juga Shimshony (1989) melaporkan bahwa domba persilangan East Friesian × Awassi menunjukan prevalensi yang rendah dibanding breed murni Awassi pada waktu outbreak penyakit ini di Israel. Kelihatannya breed yang berasal dari area lebih basah ternyata lebih tahan penyakit ini.

4.5. Bovine Leucosis
Bovine leucosis adalah penyakit yang menyerang sel darah putih yang disebabkan oleh virus bovine leucosis (BLV). Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar akibat dibatasinya perdagangan, kematian dan turunnya produksi, dan karkas yang diafkir di rumah pemotongan. Sepertinya ada komponen genetika yang menyebabkan ternak menjadi rentan terhadap penyakit tersebut, contohnya adanya perbedaan di antara breed, famili dan anak betina dari pejantan yang sama dalam hal frekuensi infeksi BLV diantara sapi di Siberia Barat (Petukhov et al., 2002). 


BAB V
KESIMPULAN

Unsur-unsur genetik ketahanan terhadap suatu penyakit dapat digunakan sebagai strategi untuk pengendalian penyakit dalam industri ternak. Banyak contoh-contoh keragaman Breed yang memiliki ketahanan terhadap berbagai penyakit yang dapat digunakan dalam program breeding dengan tujuan untuk meningkatkan mutu genetik ternak dalam  hal ketahanan terhadap penyakit.

 
DAFTAR PUSTAKA

BISHOP, S.C., J. CHESNAIS dan M.J. STEAR. 2002. Prosiding ‘7th World Congress on Genetics Applied to Livestock Production’, CDROM paper 13-011.

NICHOLAS, F.W. 2003. Prosiding Australian Poultry Science Symposium 15: 42-49. Bishop, S.C., Jackson, F., Coop, R.L. & Stear, M.J. 2004. Genetic parameters for resistance to nematode infections in Texel lambs. Animal Science, 78(2): 185–194.

FAO. 1999. Opportunities for incorporating genetic elements into the management of farm animal diseases: policy issues, by S. Bishop, M. de Jong & D. Gray. Background Study Paper Number 18. Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture. Rome.

Springbett, A.J., MacKenzie, K., Woolliams, J.A. & Bishop, S.C. 2003. The contribution of genetic diversity to the spread of infectious diseases in livestock populations. Genetics, 165(3): 1465–1474.

FAO. 2005. Trypanotolerant livestock in the context of trypanosomiasis intervention strategies, by K. Agyemang. PAAT Technical and Scientific Series No. 7. Rome.

Agyemang, K., Dwinger, R.H., Little, D.A. & Rowlands, G.J. 1997. Village N’Dama cattle production in West Africa: six years of research in the Gambia. Nairobi. International Livestock Research Institute and Banjul, International Trypanotolerance Centre.

Claxton, J. & Leperre, P. 1991. Parasite burdens and host susceptibility of Zebu and N’Dama cattle in village herds in the Gambia. Veterinary Parasitology, 40(3–4): 293–304.

Bock, R.E., Kingston, T.G. & de Vos, A.J. 1999. Effect of breed of cattle on transmission rate and innate resistance to infection with Babesia bovis and B. bigemina transmitted by Boophilus microplus. Australian Veterinary Journal, 77(7): 461–464.

Glass, E.J., Preston, P.M., Springbett, A., Craigmile, S., Kirvar, E., Wilkie, G. & Brown, C.G.D. 2005. Bos taurus and Bos indicus (Sahiwal) calves respond differently to infection with Theileria annulata and produce markedly different levels of acute phase proteins. International Journal for Parasitology, 35(3): 337–347.

Baker, R.L. 1998. Genetic resistance to endoparasites in sheep and goats. A review of genetic resistance to gastrointestinal nematode parasites in sheep and goats in the tropics and evidence for resistance in some sheep and goat breeds in sub-humid coastal Kenya. Animal Genetic Resources Information, 24: 13–30.

Roberts, J.A., Estuningsih, E., Widjayanti, S., Wiedosari, E., Partoutomo, S. & Spithill, T.W. 1997. Resistance of Indonesian thin tail sheep against Fasciola gigantica and F. hepatica. Veterinary Parasitology, 68(1–2): 69–78.

Emery, D.L., Stewart, D.J. & Clark, B.L. 1984. The susceptibility of five breeds of sheep to foot rot. Australian Veterinary Journal, 61(3): 85–88. Shimshony, A. 1989. Footrot in Awassis and the crosses with East Friesian sheep. New Zealand Veterinary Journal, 37(1): 44.

Petukhov, V.L, Kochnev, N.N., Karyagin, A.D., Korotkevich, O.S., Petukhov, I.V., Marenkov, V.G., Nezavitin, A.G. & Korotkova, G.N. 2002.



0 komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu

Blogroll

Blogger templates

Blogger news