ISOLASI dan IDENTIFIKASI Escherichia coli PADA HEWAN COBA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit infeksi disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat dinamis. Di Negara-negara berkembang penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Salah satu penyebab terjadinya penyakit infeksi adalah bakteri oportunistik (Jawetz, 2008; Nadia, 2011; Radji M, 2011).
Bakteri oportunistik merupakan bakteri yang hanya menyebabkan penyakit pada orang yang mengalami penekanan imun yang lemah. Escherichi coli adalah salah satu contoh bakteri oportunistik (Nadia, 2011).
Escherichia coli merupakan bakteri enteric yang terdapat dalam usus dan biasanya ditemukan dalam jumlah kecil sebagai flora normal dalam saluran pernafasan dan sistem alat kelamin. Bakteri ini dikenal sebagai bakteri oportunis yang dapat menyebabkan infeksi primer pada usus sekitar 5% - 10%, infeksi nosokomial di rumah sakit dan juga infeksi saluran kencing pada wanita 90% (Jawetz et al., 2008; FKUI, 2002).
E. coli tergolong bakteri Gram Negatif, berbentuk batang yang tidak membentuk spora, tidak tahan asam dan ukurannya 2−3 x 0,6 μm (GORDON dan JORDAN, 1982). Bakteri ini dapat ditemukan pada berbagai infeksi pada hewan dan merupakan agen primer atau sekunder dari infeksi tersebut. Berdasarkan penyakit yang ditimbulkannya, dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, E. coli yang bersifat oportunistik, artinya dapat menyebabkan penyakit dalam keadaan tertentu, misalnya kekurangan makanan atau mengikuti penyakit lain. Kedua, bersifat enteropatogenik/ enterotoksigenik, E. coli yang mempunyai antigen perlekatan dan memproduksi enterotoksin sehingga dapat menimbulkan penyakit. (LAY dan HASTOWO, 1992).
Faktor virulensi E. coli dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pagositosis, kemampuan perlekatan terhadap epitel sel pernafasan dan ketahanannya terhadap daya bunuh oleh serum. E. coli yang patogen ini mempunyai struktur dinding sel yang disebut “pili”, yang tidak ditemukan pada serotype yang tidak patogen (TABBU, 2000), dan “pili” inilah yang berperan dalam kolonisasi (LAY dan HASTOWO, 1992).
Ada tiga macam struktur antigen yang penting dalam klasifikasi E. coli yaitu, antigen O (Somatik), antigen K (Kapsel) dan antigen H (Flagella) (GUPTE, 1990; LAY dan HASTOWO, 1992). Determinan antigen (tempat aktif suatu antigen) O terletak pada bagian liposakarida, bersifat tahan panas dan dalam pengelompokannya diberi nomor 1,2,3 dan seterusnya.
Antigen K merupakan polisakarida atau protein, bersifat tidak tahan panas dan berinterferensi dengan aglutinasi O, sedangkan antigen H mengandung protein, terdapat pada flagella yang bersifat termolabil. Pada saat ini telah diketahui ada 173 grup serotype antigen O, 74 jenis antigen K dan 53 jenis antigen H (BARNES dan GROSS, 1997).
Dalam pencegahan penularan penyakit perlu dilakukan upaya pengendalian dan pengobatan terhadap penyebab penyakit infeksi tersebut. Adapun upaya pengendalian penyakit infeksi ini diawali dengan melakukan identifikasi bakteri secara benar dan tepat. Identifikasi di laboratorium meliputi pemeriksaan secara mikroskopis, kultur, uji serologi dengan hewan coba, dan uji biokimia (Shulman T.S., et al., 1994; FKUB, 2003; Pelczar J.M dan Chan, 2005).

1.2 Teori Dasar
Isolasi mikroba merupakan upaya pembiakkan suatu jenis mikroba tertentu yang diperoleh dari suatu sampel di dalam suatu media yang spesifik, sehingga selanjutnya dapat dilakukan identifikasi dan konfirmasi. Setiap mikroba memiliki kebutuhan akan zat pertumbuhan yang spesifik sehingga hal ini dapat dijadikan acuan dalam pemilihan media untuk isolasi, identifikasi dan konfirmasi.
Media spesifik yaitu media yang digunakan unutk mendiagnosis atau menganalisis metabolisme suatu mikroba. Contohnya adalah Koser’s Citrate medium, yang digunakan untuk menguji kemampuan menggunakan asam sitrat sebagai sumber karbon.
Identifikasi mikroba yaitu Untuk mengetahui sifat-sifat morfologi bakteri, maka bakteri dapat diperiksa dalam keadaan hidup atau mati. Pemeriksaan morfologi bakteri ini perlu, untuk mengenal nama bakteri. Disamping itu juga perlu pengenalan sifat-sifat fisiologisnya bahkan sifat-sifat fisiologis ini kebanyakan merupakan faktor terentu dalam mengenal nama spesies suatu bakteri. Sedangkan konfirmasi  mikroba yaitu untuk mengetahui jenis bakteri dan koloninya. Konfirmasi jenis bakteri dapat menggunakan berbagai pewarnaan, reaksi ensimatis atau reaksi biokimia, terutama jika identifikasi menggunakan media masih meragukan/belum memuaskan.
Pada umumnya media yang digunakan untuk membiakkan mikroba mengandung air, sumber energi (protein dan karbohidrat), zat hara (sumber karbon,  nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen dan hidrogen), serta faktor penunjang pertumbuhan (seperti asam amino, vitamin).
Suatu media yang memenuhi kebutuhan mikroba untuk bertahan hidup dan melakukan aktivitasnya secara normal diperlukan untuk melakukan isolasi jenis mikroba tertentu. Setiap media spesifik memiliki kandungan senyawa tertentu yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba tertentu tetapi menghambat pertumbuhan jenis mikroba lainnya. Sebagai contoh Media MCA ( Mac Conkey Agar) mengandung zat warna yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram Positif, sedangkan bakteri Gram Negatif tetap tumbuh.

1.3 Tujuan Percobaan
Dapat memahami prinsip isolasi, identifikasi, dan konfirmasi mikroba, serta dapat melakukannya dengan baik.

1.4 Manfaat Percobaan
            Metode yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai acuan dalam proses isolasi, identifikasi, dan konfirmasi mikroba selanjutnya.

                                 BAB II                                                  
MATERI DAN METODA

2.1 Alat dan Bahan
            Alat yang digunakan selama percobaan adalah tabung reaksi steril, rak tabung reaksi, pinset, ose bundar dan lurus, pipet ukur 5 dan 10 cm, bunsen, inkubator 37oC, gunting bedah, spuit 3 cc.
            Bahan yang digunakan selama percobaan adalah biakan bakteri Escherichia coli, marmot dewasa sehat sebagai hewan coba, media agar antara lain Blood Agar (BA), Mac Conkey Agar (MCA), dan Eosin Methilen Blue Agar (EMBA), organ mencit yang akan diperiksa.

2.2 Prosedur Percobaan
2.2.1 Inokulasi pada hewan coba
      Biakan bakteri Salmonella umur 24 jam disuspensikan dalam aquadest steril. Jumlah bakteri yang tersuspensikan disetarakan dengan Mc Farland 3. Suspensi bakteri diinokulasikan secara per oral sebanyak 3 ml menggunakan spuit 3 ml.

2.2.2 Pengamatan gejala klinis
      Pengamatan terhadap hewan coba dilakukan selama 7 hari setelah diinokulasi menggunakan bakteri Escherichia coli untuk melihat adanya gejala spesifik terhadap infeksi Escherichia coli. Hasil yang ada dicatat.

2.2.3 Pengamatan perubahan patologi anatomi organ
      Setelah 7 hari pasca inokulasi, marmut di euthanasia menggunakan larutan chloroform, kemudian dibedah, diamati perubahan yang ada, dan di catat.

2.2.4 Sampel
      Organ visceral (paru-paru, jantung, dan hati marmut dikoleksi secara aseptis untuk menghindari pencemaran dan diusahakan selama pengambilan dalam kondisi dingin, organ dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi media penumbuh dan diberi identitas organ. Organ di homogenisasi dengan cara menggerus hingga lembut kemudian suspensinya di ambil 1-2 ose dan ditanam pada media Blood Agar (BA), Mac Conkey Agar (MCA), dan Eosin Methilen Blue Agar (EMBA), kemudian diinkubasi 37oC selama 24 jam. Lakukan pengamatan koloni.

2.3 Prosedur Uji Bakteriologis
2.3.1 Pengamatan morfologi koloni bakteri
Dilakukan pengamatan terhadap morfologi koloni-koloni bakteri yang tumbuh pada media plate agar.

2.3.2 Uji morfologi
Uji morfologi dilakukan dengan melakukan uji KOH dan pewarnaan gram dari setiap koloni Escherichia coli terduga. Pemeriksaan menggunakan larutan KOH 3 % berguna untuk memperjelas pemeriksaan pewarnaan gram. KOH dinyatakan positif jika terdapat lendir atau gel, sehingga termasuk bakteri gram negatif. Apabila tidak terdapat lendir atau gel maka dinyatakan bakteri gram positif (KOH(-) ). Prosedur pewarnaan gram, gelas objek di bersihkan dengan alkohol dan di fiksir di atas api. Ambil koloni kuman dengan ose lalu buat suspensi di atas objek glas dan biarkan mengering atau fiksir di atas api. Tuangkan larutan kristal Violet pada sediaan dan biarkan 1 menit kemudian di cuci atau di bilas dengan air mengalir. Tuangkan larutan lugol iodine dan biarkan di atas selama 1 menit. Cucilah objek glas dengan alkohol 96% dengan cara menggoyangkan sambil sedikit di bilas dengan air mengalir hingga warna yang berlebih terbilas. Tuangkan larutan safranin dan biarkan selama 1 menit. Bilas kembali dengan air lalu keringkan dan lihat di bawah mikroskop. Biakkan. Umur 24 'jam berwarna biru/gram positif bentuk bulat berpasangan atau kelompok seperti buah anggur.


2.3.3 Uji Biokimia
Uji biokimia termasuk dalam media identifikasi yang berguna untuk membandingkan sifat bakteri agar dapat meneguhkan diagnosa atau bakteri penyebab penyakit. Pelaksanaannya dengan cara menanam bakteri pada media yang telah disiapkan dengan cara menggunakan ose steril, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam lalu diamati perubahan yang terjadi.

2.3.3.1 Sulfide Indol Motility (SIM)
Inokulasikan 1 ose dari Plate Count Agar (PCA) miring ke dalam tryptone Broth inkubasi selama 24 jam ± 2 jam pada suhu 35oC +1oC. Uji Indol dilakukan dengan menambahkan 0,2 ml – 0,3 ml pereaksi Kovacs. Reaksi positif jika terbentuk cincin merah pada lapisan bagian atas media dan negatif bila terbentuk cincin warna kuning.
Prinsip : Mengetahui motilitas organisme, adanya pembebasan H2S (sulfide) dan mengetahui adanya pembentukan indol. Hasil : Adanya H3S ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi hitam pada bagian dasar. Motilitas diketahui dari keruhnya media dan adanya penyebaran ke atas ( mirip pohon cemara terbalik ). Adanya indol terlihat berupa cincin merah beberapa detik sampai 5 menit setelah penambahan 1 ml chloroform dan beberapa tetes reagen Kovac.

2.3.3.2 Uji Reaksi Metyl Red-VP (Voges Proskauer)
Inokulasikan bakteri ujipada media MRVP dan inkubasikan pada pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah inkubasi media menjadi keruh lalu di tambahkan peubah atau reagen dengan urutan sbb :
 Uji MR dengan cara menambahkan 2 tetes reagen methyl red lalu kocok beberapa kali. Reaksi positif di tandai perubahan warna menjadi merah.
 Uji VP dengan media yang sama setelah uji MR di lanjutkan dengan uji VP dengan menambahkan 0,6 ml alpha naphtol soln dan 0,2 ml KOH 40% aq soln, kemudian kocok sedikit reaksi di tunggu mulai 20 sampai 30 menit, lihat perubahan warna, reaksi positif di tandai perubahan warna menjadi merah.
Prinsip MR adalah mengetahui terbentuknya asam kuat. Hasil : Terbentuknya asam ditunjukkan dengan terjadi perubahan warna dari orange menjadi merah setelah ditetesi ragen MR. Prinsip VP  adalah mengetahui terbentuknya asetil methil karbinol. Hasil : Terbentuknya asetil methil karbinol terlihat dengan adanya perubahan dari orange menjadi merah setelah ditetesi  KOH dan α-naftol.

2.3.3.3 Uji sitrat
Goreskan 1 ose dari PCA miring ke permukaan Simmon Citrat Agar. Inkubasi selama 96 jam + 2 jam pada suhu 35oC +1oC. Reaksi positif jika terjadi pertumbuhan dan media berubah warna menjadi biru, reaksi negatif jika tidak ada pertumbuhan dan media tetap hijau.
Prinsip : Mengetahui kemampuan organisme untuk menggunakan sitrat sebagai sumber karbon utama. Hasil : pertumbuhan bakteri dapat terlihat dengan adanya perubahan warna dari hijau menjadi biru.

2.3.3.4 Produksi gas dari laktosa
Inokulasikan 1 ose dari plate agar miring kedalam LTB. Inkubasi selama 48 jam ± 2 jam pada suhu 35oC +1oC, reaksi positif jika menghasilkan gas pada tabung durham.

2.3.3.5 TSIA
Dengan menggunakan ose steril diambil biakan dari EMBA, lalu ditaman pada media TSIA dengan cara ditusukkan sampai ke dasar tabung, kemudian digores secara zig-zag pada permukaannya. Diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Diamati perubahan pada media.
Prinsip : Bakteri yang tergolong Enterobacteriaceae dapat memfermentasi karbohidrat (Glukosa, Laktosa, Sukrosa). Hasil : Berwarna kuning (bersifat asam ) pada bagian tegak dan miring sehingga bakteri dapat memfermentasi karbohidrat, berwarna hitam dapat memproduksi H2S (+), dan terbentuk gas didasar tabung.
2.3.3.6 Urease
Prinsip : Sebagian bakteri menghasilkan enzim urease yang dapat menguraikan urea sehingga bersifat alkalis atau basa (berwarna merah). Hasil : Terjadi perubahan warna dari merah mudah ke merah keunguan.

2.3.4 Uji gula-gula
                 Prinsip : Mengetahui kemampuan organisme memfermentasi gula.
Hasil :
·      Glukosa : (+) Kuning / terjadi perubahan warna
·      Laktosa : (+) Kuning / terjadi perubahan warna
·      Sukrosa : (+) Kuning / terjadi perubahan warna
·      Maltosa : (+) Kuning / terjadi perubahan warna
·      Manitol : (+) Kuning / terjadi perubahan warna

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gejala Klinis
Pengamatan secara klinis marmut yang telah diinfeksi bakteri Escherichia coli selama tujuh hari tidak menampakkan adanya gejala klinis bahkan terlihat sehat. Setelah di lakukan pembedahan, secara patologi anatomi juga tidak menunjukkan perubahan yang berarti pada organ visceralnya.

3.2 Koloni Sampel
Hasil penanaman sampel (hati, paru-paru, dan jantung) pada media agar (Blood Agar, Manitol Salt Agar, dan Eosin Methylen Blue Agar)  untuk penegakan diagnosa menunjukkan bahwa koloni yang tumbuh pada media Blood Agar dan Mac Conkey Agar bukan koloni Escherichia coli, sedangkan koloni yang tumbuh merupakan koloni Escherichia coli. Berikut adalah ciri koloni Escherichia coli yang tumbuh pada masing-masing media plate agar :
a.      Blood Agar            : Koloni sedang, abu-abu, smooth, keeping, dan non hemolitik
b.      Mac Conkey Agar  : Koloni sedang, merah bata, methalik, smooth, keping atau sedikit cembung.
c.       Eosin Methylen Blue Agar : Koloni sedang, smooth, keping, hijau methalik.


3.3 Uji Morfologi
Bakteri yang dibiakan pada media EMBA dari sampel termasuk gram negative karena terdapat bentukan lender atau gel (KOH +) pada uji KOH.          Bakteri Escherichia Coli merupakan kuman dari kelompok gram negatif, berbentuk batang dari pendek sampai kokus, saling terlepas antara satu dengan yang lainnya tetapi ada juga yang bergandeng dua-dua (diplobasil) dan ada juga yang bergandeng seperti rantai pendek, tidak membentuk spora maupun kapsula, berdiameter ± 1,1 – 1,5 x 2,0 – 6,0 µm.


3.4 Uji Biokimia
            Untuk mengetahui apakah bakteri gram negatif yang tumbuh pada media EMBA merupakan bakteri Escherichia coli, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan media TSIA, SIM, SCA, Urease, dan MR-VP. Berdasarkan hasil uji biokimia maka dapat dikemukakan hasil sebagai berikut :

Keterangan :
·         Uji TSIA
Asam pada bagian tegak dan miring, artinya glukosa, laktosa dan atau sukrosa difermentasi, gas terbentuk, dan tidak menghasilkan H2S.
·         Uji SIM
Tidak terbentuk adanya H2S karena tidak terjadi perubahan warna hitam pada bagian dasar. Motilitas, karena medianya menjadi keruh dan terdapat penyebaran ke atas (mirip pohon cemara terbalik). Terbentuk indol karena terlihat adanya cincin merah pada bagian atas media.
·         Uji SCA
Mampu membentuk sitrat karena dapat terlihat adanya perubahan warna media dari hijau menjadi biru. Artinya bakteri tersebut mampu menghasilkan sitrat sebagai sumber karbon utama.
·         Uji Urease
  Mampu menghasilkan enzim urease karena terjadi perubahan warna media dari merah muda ke merah keunguan. Artinya bakteri tersebut dapat menghasilkan enzim urease yang dapat menguraikan urea sehingga bersifat alkalis atau basa.


3.5 Uji Gula-gula

Selain diuji dengan uji biokimia, bakteri-bakteri yang bersifat gram negatif perlu juga diuji dengan uji gula-gula untuk mengetahui kemampuan fermentasi bakteri terhadap gula. Sampel yang diuji pada uji gula-gula sampel dari EMBA, SSA dan MCA. Hasil uji gula-gula dapat dilihat pada tabel dibawah ini :


Uji gula-gula menunjukkan reaksi positif dengan warna berubah menjadi kuning dan menghasilkan gas. Ini menunjukkan bahwa bakteri ini mampu memfermentasikan karbohidrat. Indikator Brom-Cresol Purple digunakan untuk mengetahui adanya pembentukkan asam dan tabung Durham digunakan untuk mengetahui apakah bakteri tersebut menghasilkan gas atau tidak.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 KESIMPULAN
·         Isolasi mikroba merupakan upaya pembiakkan suatu jenis mikroba tertentu yang diperoleh dari suatu sampel di dalam suatu media yang spesifik, sehingga selanjutnya dapat dilakukan identifikasi dan konfirmasi.
·         Identifikasi mikroba yaitu Untuk mengetahui sifat-sifat morfologi bakteri, maka bakteri dapat diperiksa dalam keadaan hidup atau mati. Pemeriksaan morfologi bakteri ini perlu, untuk mengenal nama bakteri.
·         Sedangkan konfirmasi  mikroba yaitu untuk mengetahui jenis bakteri dan koloninya. Konfirmasi jenis bakteri dapat menggunakan berbagai pewarnaan, reaksi ensimatis atau reaksi biokimia, terutama jika identifikasi menggunakan media masih meragukan/belum memuaskan.

4.2 SARAN
·         Dosis mikroba yang diberikan diperbanyak agar gejala klinis dan perubahan patologi-anatomi pasca pembedahan dapat teramati.
·         Diperlukan penggerusan terhadap sampel organ yang akan diamati, agar pada saat ditanam pada media plate agar didapat mikroba yang lebih banyak sehingga mampu tumbuh pada media plate agar.
·         Beberapa uji biokimia lain yang belum dilakukan perlu juga dikerjakan untuk memperkuat peneguhan diagnosa.








TESTIMONI BEASISWA UNGGULAN

Halloo ... Nama saya Dewi Murni, saya ingin memberikan testimoni mengenai Beasiswa Unggulan BPKLN Program Double Degree.
Pertama-tama saya ingin mengucap syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya. Ucapan terimakasih juga ingin saya sampaikan kepada Universitas Brawijaya yang telah memberikan informasi dan kesempatan kepada saya untuk mendapatkan Beasiswa Unggulan BPKLN Program Double Degree. Serta Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri KEMENDIKNAS yang telah memberikan beasiswa ini kepada saya.
Sejak masih kuliah s1 di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada saya sangat ingin sekali melanjutkan studi pascasarjana ke luar negeri. Tetapi karena kondisi ekonomi keluarga yang  tidak memungkinkan dan belum  mendapatkan informasi mengenai program beasiswa unggulan sehingga saya tidak bisa langsung melanjutkan studi. Akhirnya saya memutuskan untuk bekerja dulu sebagai dokter hewan yang di kontrak oleh Kementerian Pertanian dengan wilayah penempatan di Kota Sorong Papua Barat.
Selama bekerja di Papua saya selalu mencari informasi-informasi terkait beasiswa, sampai akhirnya saya menemukan informasi mengenai Beasiswa Unggulan ini. Saya merasa sangat terbantu dengan adanya program Beasiswa Unggulan, terutama dalam hal biaya pendidikan. Semoga ilmu yang saya peroleh selama menempuh pendidikan dapat berguna bagi diri saya, masyarakat, serta bangsa dan negara  Indonesia. Saya berharap semoga Program Beasiswa Unggulan terus ada demi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Mekanisme Kerja Interferon Dalam Sistem Imun


I.        Pendahuluan

Pada sistem imun bawaan (innate), terdapat banyak molekul yang bekerja bersamaan sebagai bentuk mekanisme pertahanan dalam melindungi tubuh. Tiga molekul yang utama adalah sistem komplemen, acute phase protein (APP), dan interferon.
Mekanisme pertahanan antiviral yang paling penting adalah interferon. Interferon adalah nama yang diberikan karena sifatnya mengganggu (interfere) atau menghambat replikasi virus saat dirilis oleh sel inang yang terinfeksi. Interferon dikeluarkan dari sel yang terinfeksi virus dalam hitungan jam setelah serangan virus terjadi, dan konsentrasi tinggi interferon dapat dicapai dalam beberapa hari secara in vivo, pada saat respon imun primer masih relaktif tidak efektif (Tizard, 2004).
Interferon merupakan molekul sitokin berupa protein berjenis glikoprotein yang disekresi oleh sel vertebrata karena akibat rangsangan biologis, seperti virus, bakteri, protozoa, mycoplasma, mitogen, dan senyawa lainnya.  Sitokin (bahasa Yunani: cyto, sel; dan -kinos, gerakan) adalah sejumlah senyawa organik hasil sekresi sel yang berpengaruh pada sel lain atau berfungsi sebagai sinyal komunikasi. Sitokin dapat berupa protein, peptida atau glikoprotein. Kata sitokin biasa digunakan untuk merujuk regulator polipeptida yang disekresi oleh sel pada semua jenis makhluk hasil embryogenesis (Gilman at al., 2001). Sejarah penemuan interferon dimulai pada tahun 1954 ketika Nagano dan Kojima menemukannya pada virus di kelinci.  Tiga tahun kemudian Isaacs dan Lindenmann berhasil mengisolasi molekul yang serupa dari sel ayam dan molekul tersebut disebut interferon (Gilman at al., 2001).


II.        Tujuan


Tujuan disusunnya paper ini adalah untuk mengetahui mekanisme kerja interferon alfa, beta dan gamma.

III.        Pembahasan

Definisi
Interferon adalah sitokin antivirus dari jenis glikoprotein yang disintesis oleh sel sebagai respon dari infeksi virus, penggertakan sistem imun atau dari berbagai stimulator kimiawi lainnya. Protein ini dapat menghambat replikasi virus dengan mengganggu (interfere) sintesis protein dan RNA virus. Hal tersebut memungkinkan untuk komunikasi antara sel-sel untuk memicu pertahanan pelindung dari sistem kekebalan tubuh yang membasmi penyakit patogen atau tumor (Tizard, 2004).
Interferon merupakan antiviral antibiotik dengan spectrum luas, bersifat spesies spesifik dimana IFNs manusia bekerja pada manusia dan tidak pada kebanyakan spesies vertebrata. IFNs tikus bekerja pada tikus. Merupakan pengecualian IFNs manusia mempunyai aktivitas pada kelinci dan tikus (Klein, 1982).
Tiga tipe utama dari interferon yaitu interferon alfa (IFN- α), interferon beta (IFN- β), dan interferon gamma (IFN- γ).
  • Interferon alfa (IFN- α), merupakan grup dari setidaknya 16 molekul yang berbeda yang                     diproduksi dari leukosit yang terinfeksi virus;
  •  Interferon beta (IFN- β), protein tunggal yang diproduksi dari fibroblast yang terinfeksi virus;
  •  Interferon gamma (IFN- γ), lymphokine yang diproduksi dari sel T dan sel NK (natural killer           cells) setelah terekspos IL-2. Sel T juga dapat memproduksi IFN- α jika terinfeksi virus.


Berat molekul dari interferon pada umumnya ada di kisaran 16,000 – 25,000 daltons. IFN- γ terdapat dalam dua bentuk, dengan berat molekul 20,000 dan 25,000 daltons. IFN- α dan IFN- β stabil pada pH 2, sedangkan IFN- γ bersifat labil pada pH rendah. Semua tipe interferon tahan terhadap panas (Tabel 1) (Tizard, 2004).

Tabel 1 Interferon
Tipe
Jumlah Protein
Sumber
Berat Molekular (Daltons)
Kestabilan pada pH 2
Penginduksi
IFN- α
Ø  16
Leukosit
16,000 – 25,000
Stabil
Virus
Polinukleatida
IFN- β
1
Fibroblast
20,000
Stabil
Virus
Polinukleatida
IFN- γ
1
Limfosit
20,000 – 25,000
Labil
Mitogen
Antigen


 Mekanisme Kerja Interferon
Interferon memiliki peran penting dalam memerangi infeksi virus RNA.  Interferon disekresikan ketika sejumlah besar dsRNA (secara abnormal) ditemukan di dalam sel. Peran dsRNA sendiri adalah sebagai pemicu produksi interferon melalui Toll Like Receptor 3 (TLR 3). Gen yang mengkodekan sitokin ini diaktifkan dalam sel yang terinfeksi, kemudian interferon disintesa dan disekresikan kepada sel-sel yang terdapat disekitarnya (Tizard, 2004).
Ketika sel mati karena virus RNA dan kemudian mengalami lisis, ribuan virus ini akan menginfeksi sel-sel terdekat. Sel-sel yang sebelumnya telah menerima interferon  akan memperingatkan sel-sel yang lain akan adanya “bahaya” virus. Kemudian sel-sel tersebut akan mulai memproduksi sejumlah besar protein yang dikenal dengan protein kinase R (PKR). PKR secara tidak langsung diaktivasi oleh dsRNA (sebenarnya oleh 2’-5’ oligoadenilat, yang diproduksi oleh 2’-5’ oligoadenilatsintetase yang diaktivasi oleh TLR3) dan kemudian memulai transfer gugus fosfat (fosforilasi) ke suatu protein yang dikenal sebagai elF2  (Eukaryotic Initiation Factor 2/ Faktor Inisiasi Translasi Eukariotik). Setelah fosforilasi, elF2 memiliki kemampuan untuk menginisiasi translasi (memproduksi protein-protein yang dikodekan oleh seluler mRNA). Kemampuan ini dapat mencegah replikasi virus, menghambat fungsi ribosom sel normal, dan membunuh baik virus maupun sel inang jika responnya menjadi aktif untuk waktu yang cukup. Semua RNA di dalam sel juga akan terdegradasi, mencegah mRNA ditranslasikan oleh elF2, jika beberapa elF2 gagal untuk difosforilasi.


Interferon dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas penginduksi p53 dalam sel-sel yang terinfeksi virus, dan meningkatkan produksi dari produk gen p53. Hal ini akan menyebabkan terjadinya apoptosis, dan membatasi kemampuan virus untuk menyebar. Meningkatnya level transkripsi tidak terlihat dalam sel-sel yang tidak terinfeksi, tetapi hanya sel-sel yang terinfeksi yang menunjukkan peningkatan apoptosis. Transkripsi yang meningkat ini mungkin berperan untuk mempersiapkan sel-sel yang sesuai sehingga dapat merespon dengan cepat ketika terjadi infeksi. Ketika p53 diinduksis ehubungan dengan kehadiran virus, ia berlaku tidak seperti biasanya. Beberapa target gen p53 diekspresikan ketika virus menginfeksi, tetapi lainnya tidak, terutama untuk yang berespon terhadap kerusakan DNA. Salah satu gen yang tidak diaktivasi adalah p21, yang dapat mempertahankan hidup sel. Dengan membiarkan gen ini inaktif, maka akan membantu efek apoptotis. Dengam kata lain, interferon meningkatkan efek apoptotis dari p53, meskipun tidak mutlak diperlukan. Sel-sel normal mengeluarkan respons apoptotis yang lebih kuat dari sel-sel tanpa  p53.
Selain dengan mekanisme seperti di atas, interferon juga memiliki efek immunomodulator. Di mana interferon dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh, baik sistem kekebalan alamiah maupun yang didapat dengan beberapa cara, yakni:
a.       Meningkatkan fagositosis makrofag dan daya sitotoksik sel NK (Natural Killer).
b.      Meningkatkan ekspresi Human Leukocyte Antigen (HLA) pada permukaan sel yang terinfeksi oleh virus. HLA tersebut bersama antigen virus pada permukaan sel akan dikenali oleh limfosit  T  sitotoksik  yang  kemudian akan menyebabkan lisis sel.
c.       Turut berperan dalam lymphokine cascade dan produksi  Interleukin 1, Interleukin 2
d.      Menginduksi produksi Prostaglandin (PGE2) oleh hipotalamus dan menimbulkan demam.
Interferon- α merupakan penggertak yang kuat untuk sistem imun adaptif dan bawaan (innate). Interferon- α diproduksi dalam jumlah besar oleh sel dendritik plasmacytic dan mengaktifkan sel NK dan menggertak perbedaan monosit menjadi sel dendritik dan juga kematangan dan aktivitas sel dendritik. Interferon- α juga berperan serta dalam peralihan dari sistem imun non spesifik ke sistem imun spesifik dan mendorong respon sel dari sel T γ/δ dan menggertak memori proliferasi sel T, mengaktifkan sel T naïve, dan meningkatkan produksi antibody (Tizard, 2004).
Interferon dapat meningkatkan sekaligus menghambat fungsi sel. Fungsi penghambat utamanya adalah memperlambat pertumbuhan sel normal dan sel neoplastic. IFN- γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri  dan protozoa dengan cara aktivasi makrofag. Aktivasi ini penting untuk perkembangan resistensi terhadap mikroorganisme pathogen tertentu. Sebagai contoh, bakteri Mycobacterium tuberculosis, Rhodococcus equi, Corynebacterium pseudotuberculosis, Brucella abortus, Listeria monocytogenes dan Salmonellae, dan juga protozoa parasit Toxoplasma gondii, yang secara normal dapat hidup dan tumbuh di dalam makrofag (Gambar 3).


Antibodi tidak dapat memberikan perlindungan terhadap bakteri tersebut di atas karena pertumbuhannya yang intraseluler. Tetapi, saat proses infeksi, sel respon imun digertak dan sel T menghasilkan IFN- γ. Interferon ini menyebabkan ukuran makrofag membesar dan aktivitas metabolik serta mobilitasnya meningkat. Jumlah reseptor Fc bertambah sehingga fagositosis meningkat. Lisosom di dalam makrofag ini membesar dan mengandung enzim hidrolitik dalam jumlah besar, sementara juga mensekresikan IL-1 dalam jumlah yang banyak dan akhirnya terjadilah penghancuran organisme intraseluler (Tizard, 2004).
IFN- γ juga meningkatkan dan efek suppressor sel B, tergantung waktu treatment. Jika diberikan di akhir respon imun, interferon meningkatkan produksi antibody jika diberikan sebelum pemberian antigen, interferon bersifat supresif.
Interferon juga memiliki efek komplek pada sel respon imun sehingga dapat menekan reaksi campuran limfosit tetapi juga meningkatkan graft rejection. IFN- γ meningkatkan atau menekan reaksi hipersensitivitas, tergantung pada dosis dan waktunya.
Interferon meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik dengan menginduksi sel T untuk memproduksi reseptor IL-2 dan IL-2. Selain itu, interferon juga meningkatkan aktivitas sel suppressor dengan menggertak sintesis prostaglandin, ACTH, dan endorphin. Jadi interferon dapat bersifat imunosupresif dan juga dapat meningkatkan resistensi sel inang terhadap serangan tumor dan virus (Tizard, 2004).

Kesimpulan

1.      Interferon adalah sitokin antivirus dari jenis glikoprotein yang disintesis oleh sel sebagai respon dari infeksi virus, penggertakan sistem imun atau dari berbagai stimulator kimiawi lainnya.
2.      Tiga tipe utama dari interferon: interferon alfa (IFN- α), interferon beta (IFN- β), dan interferon gamma (IFN- γ).
3.      Mekanisme interferon dalam resistensi antiviral:
-          Meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik, sel B, makrofag dan sel NK (natural killer) sehingga memperlambat pembelahan dan pertumbuhan sel tumor dan sel virus
-          Meningkatkan fagositosis makrofag dan merangsang produksi antibody


DAFTAR PUSTAKA

Gilman A, Goodman LS, Hardman JG, Limbird LE. (2001). Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. New York: McGraw-Hill. ISBN 0-07-135469-7.

Klein J., 1982, Immunology, The Science of Self-nonself Discrimination, A Wiley-Interscience Publ., New York, 597-598, 600.

Moreland L.W. 2004. Rheumatology and immunology therapy: A to Z essentials. Springer. ISBN 978-3-540-20625-5.Page.473-476.

Nurhayati, D. 2001. Imunomodulator Pada Infeksi Bakteri. Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 3.

Tizard, I. R. 2004. Immunology An Introduction. Cytokins and The Immune System. Seventh Edition. Elsevier USA. Page 133.

Pages - Menu

Blogroll

Blogger templates

Blogger news