Analisis Resiko Terhadap Ancaman Brucella abortus Pada Konsumen Susu Segar dan Susu Pasteurisasi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Brucellosis, juga dikenal sebagai "demam undulant", "demam Mediterania" atau "demam Malta". Penyakit ini bersifat zoonosis dan infeksi hampir selalu ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau produk asal hewan. Brucellosis mempengaruhi orang dari semua kelompok usia dan semua jenis kelamin. Meskipun sudah banyak kemajuan dalam mengendalikan penyakit ini di berbagai negara, masih ada daerah di mana infeksi terus berlanjut pada hewan domestik, akibatnya transmisi ke populasi manusia sering terjadi. Penyakit ini dapat menyerang manusia di berbagai belahan dunia terutama di Mediterania negara-negara Eropa, Afrika utara dan timur, Timur Tengah, Asia selatan dan tengah, Amerika Tengah dan Selatan namun sering tidak diakui dan sering tidak dilaporkan. Hanya ada sedikit negara di dunia yang secara resmi bebas dari penyakit ini meskipun kasus masih terjadi pada orang yang kembali dari negara-negara endemik (Corbel M. J. 2006).
Perluasan industri hewan, urbanisasi, dan kurangnya langkah-langkah higienis pada peternakan dan penanganan makanan dapat menimbulkan bahaya brucellosis dan membahayakan kesehatan masyarakat. Importasi produk-produk susu seperti keju segar, dan impor makanan yang mungkin terkontaminasi Brucella, juga berkontribusi terhadap semakin meningkatnya kejadian brucellosis pada manusia.
Penyakit ini dapat berbahaya dan dapat hadir dalam berbagai bentuk atipikal. Banyak pasien dengan gejala ringan sehingga sulit untuk diagnosis. Memang perlu dicatat bahwa bahkan pada infeksi berat diagnosa masih sulit. Penerapan prosedur laboratorium dan interpretasi yang cermat akan sangat membantu proses ini.
Penting untuk dicatat bahwa informasi ilmiah dasar dan metode yang diperlukan untuk pengendalian brucellosis pada ruminansia dapat dilakukan. Bahkan brucellosis di hewan yang tidak terkontrol merupakan ukuran yang dapat diambil untuk mencegah infeksi pada manusia dan untuk mengobati orang yang terinfeksi.
Kerjasama lintas sektoral untuk mendukung pelayanan kesehatan sebagai dasar pendekatan yang memainkan peran penting dalam pengendalian brucellosis dan dapat berkontribusi pada pembangunan infrastruktur yang tepat di bidang produksi ternak, kebersihan makanan, dan perawatan kesehatan. Di sisi lain pencegahan dan pengendalian brucellosis membutuhkan tindakan yang mendukung dari berbagai sektor, termasuk yang bertanggung jawab atas keamanan pangan dan pendidikan konsumen.
Oleh karena itu, langkah-langkah dasar lingkungan dan kebersihan kerja dalam masyarakat dan dalam rumah tangga ikut serta dalam urutan tindakan yang diperlukan untuk mendeteksi dan mengobati pasien.

1.2.       Tujuan
Mengetahui tingkat resiko kontaminasi Brucella abortus terhadap konsumen susu segar dan susu pasteurisasi.

1.3.       Manfaat
Dapat memperoleh informasi mengenai nilai resiko dari kontaminasi Brucellah abortus di dalam susu segar dan susu pasteurisasi sehingga dapat dijadikan masukan kepada masyarakat dalam memilih cara pengolahan susu.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.    Analisis Resiko
 Saat ini kehidupan terancam oleh tiga macam bahaya lingkungan yaitu zat-zat kimia tok-sik, energi radiasi dan gelombang elektromagnetik dan organisme patogen. Analisis resiko merupakan proses mengukur peluang terjadinya keadaan yang tidak diinginkan dan besaran akibat yang muncul dalam satu periode waktu.
Secara sederhana, analisis resiko atau risk analysis dapat diartikan sebagai sebuah prosedur untuk mengenali satu ancaman dan kerentanan, kemudian menganalisanya untuk memastikan hasil, dan menyoroti bagaimana dampak-dampak yang ditimbulkan dapat dihilangkan atau dikurangi. Analisis resiko juga dipahami sebagai sebuah proses untuk menentukan pengamanan macam apa yang cocok atau layak untuk sebuah sistem atau lingkungan.
analisis risiko bersifat agent specific dan site specific. Proses perhitungan atau prakiraan resiko pada suatu organisme sasaran, sistem atau (sub)-populasi, termasuk identifikasi ketidakpastian-ketidakpastian yang menyertainya, setelah terpapar oleh agen-agen tertentu, dengan memerhatikan karakteristik yang melekat pada agen itu dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik (IPCS 2004). Resiko itu sendiri didefinisikan sebagai kemungkinan (probabilitas) efek merugikan pada suatu organisme, sistem atau (sub)populasi yang disebabkan oleh pemaparan suatu agen dalam keadaan tertentu (IPCS 2004). Metoda, teknik dan prosedur analisis resiko yang ada saat ini dikembang-kan dari Risk Analysis Paradigm (NRC 1983).
Dalam garis besarnya analisis resiko terdiri dari empat tahap kajian, yaitu identifikasi bahaya, analisis dosis-respon, analisis pemaparan, karakterisasi resiko, uncertainty and sensitivity analysis. Langkah-langkah ini tidak harus dilakukan secara berurutan, kecuali karakterisasi resiko sebagai tahap terakhir. Karakterisasi resiko kesehatan pada populasi beresiko dinyatakan secara kuantitatif dengan menggabungkan analisis dosis-respon dengan analisis pemaparan. Nilai numerik estimasi risiko kesehatan kemudian digunakan untuk merumuskan pilihan-pilihan manajemen resiko untuk mengendalikan resiko tersebut. Selanjut-nya opsi-opsi manajemen resiko itu dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan agar re/siko yang potensial dapat diketahui, diminimalkan atau dicegah.
Selain itu, estimasi resiko kuantitatif juga digunakan sebagai dasar untuk mengamati kejadian aktual efek-efek yang merugikan kesehatan pada populasi beresiko dengan melakukan studi epidemiologi untuk menjelaskan proporsi gejala atau penyakit dan proporsi tingkat pencemaran, atau asosiasi (termasuk hubungan sebab-akibat) gejala atau penyakit dengan tingkat pencemaran.
Berikut adalah langkah-langkah analisis resiko:

Identifikasi Bahaya
Hazard didefinisikan sebagai sesuatu yang berpotensi berbahaya terhadap manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan.
Identifikasi bahaya, atau hazard identification, adalah tahap awal Analisis resiko untuk mengenali sumber risiko. Informasinya bisa ditelusuri dari sumber dan penggunaan risk agent memakai pendekatan agent oriented (WHO 1983). Identifikasi bahaya juga bisa dilakukan dengan mengamati gejala dan penyakit yang berhubungan dengan tosksitas risk agent di masyarakat yang telah terkumpul dalam studi-studi sebelumnya, baik di wilayah kajian atau di tempat-tempat lain. Penelusuran seperti ini dikenal sebagai pendekatan disease oriented (WHO 1983). Dengan cara ini identifikasi keberadaan risk agent yang potensial dan aktual dalam media lingkungan dapat digunakan untuk analisis dosis-respon.

Analisis Dosis-Respon
Analisis dosis-respon, disebut juga dose-response assessment atau toxicity assessment, menetapkan nilai-nilai kuantitatif toksisitas risk agent untuk setiap bentuk risk agennya. Toksisitas dinyatakan sebagai dosis referensi (reference dose, RfD). Analisis dosis-respon merupakan tahap paling menentukan karena analisis resiko hanya bisa dilakukan untuk risk agent yang sudah ada dosis-responnya.
Menentukan dosis-respon suatu risk agent sangat sulit, membutuhkan data dan informasi studi toksisitas yang asli dan lengkap dari ahli-ahli kimia, toksikologi, farmakologi, biologi, epidemiologi.

Analisis Pemaparan
Analisis pemaparan, atau exposure assessment yang disebut juga penilaian kontak, bertujuan untuk mengenali jalur-jalur paparan risk agent agar jumlah asupan yang diterima individu dalam populasi berisiko bisa dihitung. Risk agent bisa berada di dalam tanah, di udara, air, atau pangan seperti ikan, daging, telur, susu, sayur-mayur dan buah-buahan. Data dan informasi yang dibutuhkan untuk menghitung asupan adalah semua variabel (ATSDR 2005; Louvar and Louvar 1998).

Karakterisasi Risiko
Karakteristik risiko kesehatan dinyatakan sebagai Risk Quotient (RQ, Tingkat Risiko) untuk efek-efek nonkarsinogenik/ non infektif (ATSDR 2005; EPA 1986; IPCS 2004; Kolluru 1996; Louvar and Louvar 1998) dan Excess Cancer Risk (ECR) untuk efek-efek karsinogenik/ infektif (EPA 2005).

Manajemen Risiko
Berdasarkan karakterisasi risiko, dapat dirumuskan pilihan-pilihan manajemen risiko untuk meminimalkan RQ dan ECR dengan memanipulasi (mengubah) nilai faktor-faktor pemaparan sedemikian rupa sehingga asupan lebih kecil atau sama dengan dosis referensi toksisitasnya.

2.2.    Susu Segar
Menurut Dwidjoseputro (1982), susu segar adalah susu murni, tidak mengalami pemanasan, dan tidak ada penambahan bahan pengawet. Susu sapi segar mengandung air (87,25%), laktosa (4,8%), lemak (3,8%), kasein (2,8%), albumin (0,7%), dan garam-garaman (0,65%). Selain itu perlu kita tahu bahwa susu juga mengandung vitamin, sitrat, dan enzim. Sindurejo dalam Tricahyadi dkk (2007) menyebutkan bahwa susu sapi yang baik memiliki warna putih kekuningan dan tidak tembus cahaya. Kualitas susu yang sampai ditangan konsumen terutama ditentukan antara lain oleh jenis ternak dan keturunannya (hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, peradangan pada ambing, nutrisi/pakan ternak, lingkungan dan prosedur pemerahan susu.
Berdasarkan jumlah bakteri dalam air susu, kualitas susu di negara-negara barat dan negara-negara maju lainnya digolongkan menjadi 3 macam, yaitu:
1.   Susu dengan kualitas baik atau kualitas A (No. 1), jumlah bakteri yang terdapat dalam susu segar tidak lebih dari 10.000/ml. Bakteri-bakteri koliform tidak lebih dari 10/ml.
2.    Susu Kualitas B (No. 2) jika jumlah bakterinya antara 100.000-1.000.000/ml dan jumlah bakteri koliform tidak lebih dari 10/ml.
3.    Susu dengan kualitas C (No. 3), jelek jika jumlah bakterinya lebih dari 1.000.000/ml (Hadiwiyoto, 1994).


Dari populasi sapi perah sebanyak 382,3 ribu ekor tahun 2006, produksi susu yang dihasilkan pada tahun 2006 adalah 616,47 ribu ton (Tabel 2). Jumlah produksi susu tersebut hanya dapat memenuhi 30 persen dari kebutuhan bahan baku industri pengolahan susu di dalam negeri, selebihnya (sekitar 70%) harus diimpor. Selama bulan Januari-September tahun 2007 misalnya, volume impor susu mencapai 214 ribu ton dengan nilai impor sekitar 596,6 juta US dollar, dimana pada tahun 2006, volume impor susu adalah 252 ribu ton dengan nilai impor sebesar 507,5 juta US dollar.
Secara keseluruhan peningkatan poduksi susu di Indonesia selama tahun 2000-2007 bertambah sekitar 2.5 % per tahun. Dengan jumlah penduduk saat ini diperkirakan mencapai 230 juta jiwa serta tingkat pendapatan per kapita yang terus bertambah, maka diperkirakan permintaan terhadap susu dan produk susu di Indonesia meningkat sekita 10% per tahun. Saat ini sekitar 91% dari produksi susu segar di Indonesia, dihasilkan oleh usaha peternakan rakyat dengan skala 1-3 ekor sapi perah per peternak.
Pengawasan kualitas susu merupakan suatu faktor penting dalam rangka penyediaan susu sehat bagi konsumen dan hal ini sangat diperlukan untuk lebih memberi jaminan kepada masyarakat bahwa susu yang dibeli telah memenuhi standar kualitas tertentu. Pusat Standardisasi Indonesia telah mengeluarkan persyaratan kualitas untuk susu segar, berikut cara pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan dan cara pengemasan, seperti yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia atau SNI 01-3141-1982.
Menurut Supardi dan Sukamto dalam Sulistyowati (2009), susu mudah rusak karena terkontaminasi oleh bakteri-bakteri pembusuk. Selain itu, susu juga dapat terkontaminasi oleh bakteri-bakteri patogen melalui beberapa cara sebagai berikut:
1.        Susu yang berasal dari sapi perah yang menderita infeksi. Misalnya infeksi oleh bakteriBrucellaMycobacterium, dan Coxiella burnetii.
2.        Puting sapi terkontaminasi secara langsung oleh manusia. Misalnya kontaminasi oleh Streptococcus, StaphylococcusPseudomonas, dan Corynebacterium.
3.        Susu terkontaminasi oleh bakteri patogen yang tidak berasal dari sapi sendiri, kontaminasi terjadi setelah proses pemerahan. Misalnya Salmonella typhiCorynebacter diptheriae danStreptococcus pyogenes.

2.3. Susu Pasteurisasi
Susu pasteurisasi adalah susu sapi segar yang diolah melalui proses pemanasan pada suhu 75 derajat celcius selama 15 detik dengan tujuan mencegah kerusakan susu akibat aktivitas mikroorganisme perusak (patogen) dengan tetap menjaga kualitas nutrisi susu.
Metode pengolahan ini merupakan cara yang paling efektif dalam menjaga kemurnian nutrisi susu sapi segar tanpa tambahan zat apapun sehingga umur simpan produk menjadi lebih pendek dibanding produk susu olahan susu lainnya seperti susu UHT (Ultra High Temperature), susu bubuk, dan susu kental manis.

BAB III
METODE

3.1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dengan literatur dan jurnal-jurnal yang mendukung.

3.2. Metode penelitian
Analisis resiko yang digunakan yaitu tipe analisis kuantitatif. Berdasarkan tingkat resiko tinggi (high), sedang (medium), rendah (low), dan diabaikan (negligible).
Metode yang digunakan merupakan metode dokumenter yaitu teknik pengumpulan data dan informasi melalui melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti. Metode dokumenter ini merupakan metode pengumpulan data yang berasal dari sumber non-manusia yaitu sumber yang sudah tersedia dan siap pakai berupa dokumen-dokumen yang berguna sehingga dapat memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.  Karakteristik Patogen
Brucella Abortus merupakan bakteri Gram negatif, memiliki morfologi yang khas seperti berbentuk cocobacil dan bersifat fakultatif intrasellular sehingga sulit difagosit oleh sel-sel makrofag, berkoloni tunggal atau berpasangan. Memiliki hospes spesifik yaitu ternak ruminansia besar. B. abortus memiliki ukuran ± 0,5 – 1,5 μm. Sifat biologiknya bila terdapat di luar tubuh inang tidak tahan terhadap pemanasan dan desinfektan (Frienchick dkk 1985).

B. abortus menyebabkan brucellosis, penyakit ini menjadi masalah di kalangan peternak karena sudah menyebar luas di Indonesia, sulit untuk didiagnosa dan diobati, menghambat laju populasi ternak, tidak sedikit menimbulkan kerugian ekonomi, dan menular pada manusia (zoonosis).
Kerugian ekonomi akibat brucellosis pada sapi dapat terjadi karena abortus, sterilitas dan infertilitas, kematian dini anak-anak sapi, dan penurunan dan penghentian produksi.
Brucellosis dapat terjadi baik pada hewan maupun manusia. Penyakit yang terjadi bersifat zoonosis, ditularkan dari hewan ke manusia melalui kontak langsung dengan bahan keguguran, karkas yang tercemar dan minum susu sapi penderita brucellosis atau makan produk yang tercemar.
Brucella abortus telah banyak menginfeksi sapi-sapi perah di Indonesia. Brucella abortus dapat mencemari susu segar, tetapi bakteri tersebut dapat dirusak dengan perlakuan pasteurisasi. Pada infeksi yang kronis pada sapi betina dewasa, bakteri bermukim di dalam kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae, retrofaringeal, iliaka interna dan eksterna. Oleh karena itu bakteri dapat dikeluarkan melalui air susu (Nicoletti 1980).
Diagnosa B. Abortus dapat dilakukan dengan pemeriksaan bakteriologik dan pemeriksaan secara serologik. Pemeriksaan bakteriologik merupakan upaya untuk menemukan atau mengisolasi bakteri. Untuk pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan membuat preparat sentuh dari organ tempat bersarangnya bakteri, kemudian diwarnai dengan pewarnaan koster atau Ziel Nielsen. Untuk biakan kuman dapat dibiakkan bahan yang berasal dari spesimen setelah melalui prosedur yang lazim dilakukan di laboratorium bakteriologi (Meyer 1984).
Pemeriksaan serologik prinsipnya yaitu menentukan adanya antibodi bakteri tersebut di dalam serum atau cairan tubuh. Beberapa cara yang sifatnya masih konvensional seperti uji Rose Bengal Test (RBT), Uji Serum Aglutinasi (SAT), uji ikat komplemen (CFT), uji cincin air susu (MRT). Beberapa pengujian non konvensional yang dapat juga di pakai antaralain Radio Immuno Sorbent Assay (RIA) dan Enzime Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA).
Uji RBT memiliki nilai kepercayaan mencapai 60 – 70 %, uji SAT mencapai 70 – 90%, CFT 97 – 98%, dan MRT 73 – 92%. Dan uji alergik yaitu melihat adanya reaksi pada kulit sapi yang menderita brucellosis setelah di suntik dengan antigen ekstrak B. Abortus. Nilai kepercayaan uji ini adalah 70 – 90%.
 4.2.  Identifikasi bahaya
Identifikasi bahaya konsumsi susu segar dan susu pasteurisasi terhadap Brucella abortus.


Susu pasteurisasi dilakukan dengan pemanasan pada suhu 75oC selama 15 menit sehingga dapat meminimalisir kontaminasi mikroorganisme di dalam susu. Bakteri B. abortus tidak tahan terhadap pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa susu pasteurisasi tidak beresiko terhadap penyakit brucellosis sehingga tidak perlu dilakukan analisis resiko.

Berdasarkan tabel di atas maka konsumsi susu segar oleh konsumen  diidentifikasi sebagai bahaya (hazard).

4.3.  Penilaian Resiko
4.3.1    Penilaian Pelepasan
Penilaian pelepasan dilakukan di peternakan dan pohon skenario dapat dilihat pada Gambar 2.


4.3.2.      Penilaian Pendedahan
Penilaian pendedahan dimulai ketika ada sejarah kasus penyakit di peternakan.  Pohon skenario di jelaskan pada Gambar 3.



4.4.Estimasi Risiko
Kesimpulan berdasarkan hasil dari penilaian pelepasan dengan kecenderungan high risk, penilaian pendedahan dengan kecenderungan high risk, dan penilaian konsekuensi dengan kecenderungan extreme risk sehingga estimasi risiko yang dapat ditimbulkan jika mengkonsumsi susu segar dari daerah atau peternakan yang endemik brucellosis adalah extreme risk.

4.5.  Manajemen Risiko
Susu yang akan di konsumsi dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 75oC selama 15 menit karena B. abortus tidak tahan terhadap pemanasan dan desinfektan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.      Kesimpulan
1.        Berdasarkan hasil dari penilaian pelepasan dengan kecenderungan high risk, penilaian pendedahan dengan kecenderungan high risk, dan penilaian konsekuensi dengan kecenderungan extreme risk sehingga estimasi risiko yang dapat ditimbulkan jika mengkonsumsi susu segar dari daerah atau peternakan yang endemik brucellosis adalah extreme risk.
2.        Berdasarkan hasil analisis resiko terhadap ancaman B. abortus pada konsumen susu segar maka dinyatakan bahwa susu segar tersebut tidak boleh di konsumsi.
3.        Pada susu pasteurisasi dilakukan pemanasan pada 75oC selama 15 menit sehingga susu pasteurisasi dapat dikonsumsi oleh konsumen karena B. abortus merupakan bakteri yang tidak tahan pada perlakuan pemanasan.

5.2.      Saran
Susu yang akan di konsumsi dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 75oC selama 15 menit karena B. abortus tidak tahan terhadap pemanasan dan desinfektan.



DAFTAR PUSTAKA 
ATSDR. 2005. ATSDR Public Health Assessment Guidance Manual. US Department of Health and Human Services. Available: http://www.atsdr.cdc.gov/HAC/PHAManual/.

BPS. 2007. Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2005", 2007.

BPS. "Statistik Indonesia", beberapa edisi.

Corbel M. J. 2006. Brucellosis in Human and Animals. World Health Organization.

Dwijoseputro. 1982. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Jakarta. Hadiwiyoto, S., 1994. Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Ditjen Peternakan. 2006 Statistik Peternakan 2006. Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

EPA. 1986. Guidelines for the Health Risk Assessment of Chemical Mixtures, EPA/630/R-98/002, . Washington DC:Risk Assessment Forum, US Environmental Protection Agency. Available: http://www.epa.gov/ncea/raf/pdfs/chem_mix/chemmix_1986.pdf [accessed 5 December 2006].

EPA. 2005. Guideline for Carcinogen Risk Assessment (EPA/630/P-03/001B). Washington DC: Risk Assessment Forum, US Environmental Protection Agency.

Frienchick, P.J ., R.J .F . Markham and A.H. Cocharane. 1985. Inhibition of phagosom lisosom fusion in macrophages by soluble extracts of virulent B. abortus. Am . J. Vet . Res. 46 (3) : 332-335.

IPCS. 2004. IPCS Risk Assessment Terminology, Part 1: IPCS/OECD Key Generic Terms used in Chemical Hazard/Risk Assessment; Part 2: IPCS Glossary of Key Exposure Assessment Terminology. Geneva: World Health Organization and International Programme on Chemical Safety.
Kolluru RV. 1996. Health Risk Assessment: Principles and Practices. In: Risk Assessment and Management Handbook for Environmental, Health, and Safety Professionals (Kolluru RV, Bartell S, Pitblado R, Stricoff S, eds). New York:McGraw-Hill, 4.3-4.68.

Louvar JF, Louvar BD. 1998. Health and Environmental Risk Analysis: Fundamentals with Application. New Jersey:Prentice Hall.

Meyer, M.E . 1984. Bruccella . In Carter, G.R . (Edit) . Diagnosis Procedures in Veterinary Bacteriology and Mycology. 4th ed. Charles C. Thomas Publisher. Springfield, Ilinois.

Nicoletti, P. 1980 . The epidemiology of bovine brucellosis. In Brandly, C.A. and C.E . Cornelius (Edits). Advances in veterinary science and comparative medicine . Vol. 24. Academic Press. New York, London .

NRC. 1983. Risk Assessment in the Federal Government: Managing Process. Washington DC:National Research Council, National Academic of Science Press.

Sulistyowati Y. 2009.  Pemeriksaan Mikrobiologik Susu Sapi Murni dari Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali.  2009 www.etd.eprints.ums.ac.id/ 5125/1/K100050045.pdf. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

WHO. 1983. Environmental Health Criteria 27: Guidelines on Studies in Environmental Epidemiology. Geneva:World Health Organization.









0 komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu

Blogroll

Blogger templates

Blogger news