BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Brucellosis,
juga dikenal sebagai "demam undulant", "demam Mediterania"
atau "demam Malta". Penyakit ini bersifat zoonosis dan infeksi hampir
selalu ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan yang
terinfeksi atau produk asal hewan. Brucellosis mempengaruhi orang dari semua
kelompok usia dan semua jenis kelamin. Meskipun sudah banyak kemajuan dalam mengendalikan
penyakit ini di berbagai negara, masih ada daerah di mana infeksi terus
berlanjut pada hewan domestik, akibatnya transmisi ke populasi manusia sering
terjadi. Penyakit ini dapat menyerang manusia di berbagai belahan dunia
terutama di Mediterania negara-negara Eropa, Afrika utara dan timur, Timur
Tengah, Asia selatan dan tengah, Amerika Tengah dan Selatan namun sering tidak
diakui dan sering tidak dilaporkan. Hanya ada sedikit negara di dunia yang
secara resmi bebas dari penyakit ini meskipun kasus masih terjadi pada orang
yang kembali dari negara-negara endemik (Corbel M. J. 2006).
Perluasan
industri hewan, urbanisasi, dan kurangnya langkah-langkah higienis pada
peternakan dan penanganan makanan dapat menimbulkan bahaya brucellosis dan
membahayakan kesehatan masyarakat. Importasi produk-produk susu seperti keju
segar, dan impor makanan yang mungkin terkontaminasi Brucella, juga
berkontribusi terhadap semakin meningkatnya kejadian brucellosis pada manusia.
Penyakit
ini dapat berbahaya dan dapat hadir dalam berbagai bentuk atipikal. Banyak
pasien dengan gejala ringan sehingga sulit untuk diagnosis. Memang perlu
dicatat bahwa bahkan pada infeksi berat diagnosa masih sulit. Penerapan
prosedur laboratorium dan interpretasi yang cermat akan sangat membantu proses
ini.
Penting
untuk dicatat bahwa informasi ilmiah dasar dan metode yang diperlukan untuk
pengendalian brucellosis pada ruminansia dapat dilakukan. Bahkan brucellosis di
hewan yang tidak terkontrol merupakan ukuran yang dapat diambil untuk mencegah
infeksi pada manusia dan untuk mengobati orang yang terinfeksi.
Kerjasama
lintas sektoral untuk mendukung pelayanan kesehatan sebagai dasar pendekatan
yang memainkan peran penting dalam pengendalian brucellosis dan dapat
berkontribusi pada pembangunan infrastruktur yang tepat di bidang produksi
ternak, kebersihan makanan, dan perawatan kesehatan. Di sisi lain pencegahan
dan pengendalian brucellosis membutuhkan tindakan yang mendukung dari berbagai
sektor, termasuk yang bertanggung jawab atas keamanan pangan dan pendidikan
konsumen.
Oleh
karena itu, langkah-langkah dasar lingkungan dan kebersihan kerja dalam
masyarakat dan dalam rumah tangga ikut serta dalam urutan tindakan yang
diperlukan untuk mendeteksi dan mengobati pasien.
1.2.
Tujuan
Mengetahui
tingkat resiko kontaminasi Brucella abortus terhadap
konsumen susu segar dan susu
pasteurisasi.
1.3.
Manfaat
Dapat memperoleh informasi mengenai nilai
resiko dari
kontaminasi Brucellah abortus di dalam susu segar dan susu pasteurisasi
sehingga dapat dijadikan masukan kepada masyarakat dalam
memilih cara pengolahan susu.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Analisis Resiko
Saat ini
kehidupan terancam oleh tiga macam bahaya lingkungan yaitu zat-zat kimia
tok-sik, energi radiasi dan gelombang elektromagnetik dan organisme patogen. Analisis
resiko merupakan proses mengukur peluang terjadinya keadaan yang tidak
diinginkan dan besaran akibat yang muncul dalam satu periode waktu.
Secara sederhana,
analisis resiko atau risk analysis dapat
diartikan sebagai sebuah prosedur untuk mengenali satu ancaman dan kerentanan,
kemudian menganalisanya untuk memastikan hasil, dan menyoroti bagaimana
dampak-dampak yang ditimbulkan dapat dihilangkan atau dikurangi. Analisis
resiko juga dipahami sebagai sebuah proses untuk menentukan pengamanan macam
apa yang cocok atau layak untuk sebuah sistem atau lingkungan.
analisis
risiko bersifat agent specific dan
site specific. Proses perhitungan atau prakiraan resiko pada suatu
organisme sasaran, sistem atau (sub)-populasi, termasuk identifikasi
ketidakpastian-ketidakpastian yang menyertainya, setelah terpapar oleh agen-agen tertentu, dengan memerhatikan
karakteristik yang melekat pada agen itu
dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik (IPCS 2004). Resiko itu sendiri
didefinisikan sebagai kemungkinan (probabilitas) efek merugikan pada suatu
organisme, sistem atau (sub)populasi yang disebabkan oleh pemaparan suatu agen dalam keadaan tertentu (IPCS
2004). Metoda, teknik dan prosedur analisis resiko yang ada saat ini
dikembang-kan dari Risk Analysis
Paradigm (NRC 1983).
Dalam garis
besarnya analisis resiko terdiri dari empat tahap kajian, yaitu identifikasi
bahaya, analisis dosis-respon, analisis pemaparan, karakterisasi
resiko, uncertainty and sensitivity analysis. Langkah-langkah ini tidak
harus dilakukan secara berurutan, kecuali karakterisasi resiko sebagai tahap
terakhir. Karakterisasi resiko kesehatan pada populasi beresiko dinyatakan
secara kuantitatif dengan menggabungkan analisis dosis-respon dengan analisis
pemaparan. Nilai numerik estimasi risiko kesehatan kemudian digunakan untuk
merumuskan pilihan-pilihan manajemen resiko untuk mengendalikan resiko
tersebut. Selanjut-nya opsi-opsi manajemen resiko itu dikomunikasikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan agar re/siko yang potensial dapat diketahui,
diminimalkan atau dicegah.
Selain itu,
estimasi resiko kuantitatif juga digunakan sebagai dasar untuk mengamati kejadian
aktual efek-efek yang merugikan kesehatan pada populasi beresiko dengan
melakukan studi epidemiologi untuk menjelaskan proporsi gejala atau penyakit
dan proporsi tingkat pencemaran, atau asosiasi (termasuk hubungan sebab-akibat)
gejala atau penyakit dengan tingkat pencemaran.
Berikut adalah langkah-langkah analisis resiko:
Identifikasi
Bahaya
Hazard didefinisikan sebagai
sesuatu yang berpotensi berbahaya terhadap manusia, hewan, tumbuhan dan
lingkungan.
Identifikasi
bahaya, atau hazard identification, adalah tahap awal Analisis resiko
untuk mengenali sumber risiko. Informasinya bisa ditelusuri dari sumber dan
penggunaan risk agent memakai pendekatan agent oriented (WHO
1983). Identifikasi bahaya juga bisa dilakukan dengan mengamati gejala dan
penyakit yang berhubungan dengan tosksitas risk agent di masyarakat yang
telah terkumpul dalam studi-studi sebelumnya, baik di wilayah kajian atau di
tempat-tempat lain. Penelusuran seperti ini dikenal sebagai pendekatan disease
oriented (WHO 1983). Dengan cara ini identifikasi keberadaan risk agent yang
potensial dan aktual dalam media lingkungan dapat digunakan untuk analisis
dosis-respon.
Analisis Dosis-Respon
Analisis dosis-respon, disebut juga dose-response
assessment atau toxicity assessment, menetapkan nilai-nilai
kuantitatif toksisitas risk agent untuk setiap bentuk risk agennya. Toksisitas dinyatakan
sebagai dosis referensi (reference dose, RfD). Analisis
dosis-respon merupakan tahap paling menentukan karena analisis resiko hanya
bisa dilakukan untuk risk agent yang sudah ada dosis-responnya.
Menentukan dosis-respon suatu risk
agent sangat sulit, membutuhkan data dan informasi studi toksisitas yang
asli dan lengkap dari ahli-ahli kimia, toksikologi, farmakologi, biologi,
epidemiologi.
Analisis Pemaparan
Analisis pemaparan, atau exposure
assessment yang disebut juga penilaian kontak, bertujuan untuk mengenali
jalur-jalur paparan risk agent agar jumlah asupan yang diterima individu
dalam populasi berisiko bisa dihitung. Risk agent bisa berada di dalam
tanah, di udara, air, atau pangan seperti ikan, daging, telur, susu,
sayur-mayur dan buah-buahan. Data dan informasi yang dibutuhkan untuk
menghitung asupan adalah semua variabel (ATSDR 2005; Louvar and Louvar
1998).
Karakterisasi Risiko
Karakteristik
risiko kesehatan dinyatakan sebagai Risk Quotient (RQ,
Tingkat Risiko) untuk efek-efek nonkarsinogenik/ non infektif (ATSDR 2005; EPA
1986; IPCS 2004; Kolluru 1996; Louvar and Louvar 1998) dan Excess Cancer
Risk (ECR) untuk efek-efek karsinogenik/ infektif (EPA 2005).
Manajemen
Risiko
Berdasarkan
karakterisasi risiko, dapat dirumuskan pilihan-pilihan manajemen risiko untuk
meminimalkan RQ dan ECR dengan memanipulasi (mengubah) nilai
faktor-faktor pemaparan sedemikian rupa sehingga asupan lebih kecil atau sama
dengan dosis referensi toksisitasnya.
2.2. Susu Segar
Menurut Dwidjoseputro (1982), susu segar adalah susu murni,
tidak mengalami pemanasan, dan tidak ada penambahan bahan pengawet. Susu sapi
segar mengandung air (87,25%), laktosa (4,8%), lemak (3,8%), kasein (2,8%),
albumin (0,7%), dan garam-garaman (0,65%). Selain itu perlu kita tahu bahwa
susu juga mengandung vitamin, sitrat, dan enzim. Sindurejo dalam Tricahyadi dkk
(2007) menyebutkan bahwa susu sapi yang baik memiliki warna putih kekuningan
dan tidak tembus cahaya. Kualitas susu yang sampai ditangan konsumen terutama
ditentukan antara lain oleh jenis ternak dan keturunannya (hereditas), tingkat
laktasi, umur ternak, peradangan pada ambing, nutrisi/pakan ternak, lingkungan
dan prosedur pemerahan susu.
Berdasarkan jumlah bakteri dalam air susu, kualitas susu di negara-negara barat
dan negara-negara maju lainnya digolongkan menjadi 3 macam, yaitu:
1. Susu dengan kualitas
baik atau kualitas A (No. 1), jumlah bakteri yang terdapat dalam susu segar
tidak lebih dari 10.000/ml. Bakteri-bakteri koliform tidak lebih dari 10/ml.
2. Susu Kualitas B (No. 2) jika jumlah bakterinya antara
100.000-1.000.000/ml dan jumlah bakteri koliform tidak lebih dari 10/ml.
3. Susu dengan kualitas C (No. 3), jelek jika jumlah bakterinya lebih
dari 1.000.000/ml (Hadiwiyoto, 1994).
Dari populasi sapi perah sebanyak 382,3 ribu ekor
tahun 2006, produksi susu yang dihasilkan pada tahun 2006 adalah 616,47 ribu
ton (Tabel 2). Jumlah produksi susu tersebut hanya dapat memenuhi 30 persen
dari kebutuhan bahan baku industri pengolahan susu di dalam negeri, selebihnya
(sekitar 70%) harus diimpor. Selama bulan Januari-September tahun 2007
misalnya, volume impor susu mencapai 214 ribu ton dengan nilai impor sekitar
596,6 juta US dollar, dimana pada tahun 2006, volume impor susu adalah 252 ribu
ton dengan nilai impor sebesar 507,5 juta US dollar.
Secara keseluruhan peningkatan poduksi susu di
Indonesia selama tahun 2000-2007 bertambah sekitar 2.5 % per tahun. Dengan
jumlah penduduk saat ini diperkirakan mencapai 230 juta jiwa serta tingkat
pendapatan per kapita yang terus bertambah, maka diperkirakan permintaan
terhadap susu dan produk susu di Indonesia meningkat sekita 10% per tahun. Saat
ini sekitar 91% dari produksi susu segar di Indonesia, dihasilkan oleh usaha
peternakan rakyat dengan skala 1-3 ekor sapi perah per peternak.
Pengawasan kualitas susu merupakan suatu faktor
penting dalam rangka penyediaan susu sehat bagi konsumen dan hal ini sangat
diperlukan untuk lebih memberi jaminan kepada masyarakat bahwa susu yang dibeli
telah memenuhi standar kualitas tertentu. Pusat Standardisasi Indonesia telah
mengeluarkan persyaratan kualitas untuk susu segar, berikut cara pengambilan
contoh, cara uji, syarat penandaan dan cara pengemasan, seperti yang tercantum
dalam Standar Nasional Indonesia atau SNI 01-3141-1982.
Menurut Supardi dan Sukamto dalam Sulistyowati (2009), susu mudah rusak
karena terkontaminasi oleh bakteri-bakteri pembusuk. Selain itu, susu juga
dapat terkontaminasi oleh bakteri-bakteri patogen melalui beberapa cara sebagai
berikut:
1. Susu yang berasal dari sapi perah yang
menderita infeksi. Misalnya infeksi oleh bakteriBrucella, Mycobacterium,
dan Coxiella burnetii.
2. Puting sapi terkontaminasi secara langsung
oleh manusia. Misalnya kontaminasi oleh Streptococcus, Staphylococcus, Pseudomonas,
dan Corynebacterium.
3. Susu terkontaminasi oleh bakteri patogen yang tidak
berasal dari sapi sendiri, kontaminasi terjadi setelah proses pemerahan.
Misalnya Salmonella typhi, Corynebacter diptheriae danStreptococcus
pyogenes.
2.3.
Susu Pasteurisasi
Susu pasteurisasi adalah susu sapi segar yang diolah melalui
proses pemanasan pada suhu 75 derajat celcius selama 15 detik dengan tujuan
mencegah kerusakan susu akibat aktivitas mikroorganisme perusak (patogen)
dengan tetap menjaga kualitas nutrisi susu.
Metode pengolahan ini merupakan cara yang paling efektif
dalam menjaga kemurnian nutrisi susu sapi segar tanpa tambahan zat apapun
sehingga umur simpan produk menjadi lebih pendek dibanding produk susu olahan
susu lainnya seperti susu UHT (Ultra High Temperature), susu bubuk, dan susu
kental manis.
BAB
III
METODE
3.1.
Jenis Data
Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dengan
literatur dan jurnal-jurnal yang mendukung.
3.2. Metode penelitian
Analisis
resiko yang digunakan yaitu tipe analisis kuantitatif. Berdasarkan tingkat
resiko tinggi (high), sedang (medium), rendah (low), dan diabaikan (negligible).
Metode
yang digunakan merupakan metode dokumenter yaitu teknik pengumpulan data dan
informasi melalui melalui pencarian dan penemuan bukti-bukti. Metode dokumenter
ini merupakan metode pengumpulan data yang berasal dari sumber non-manusia
yaitu sumber yang sudah tersedia dan siap pakai berupa dokumen-dokumen yang
berguna sehingga dapat memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok
penelitian.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik
Patogen
Brucella Abortus
merupakan bakteri Gram negatif, memiliki morfologi yang khas seperti
berbentuk cocobacil dan bersifat fakultatif intrasellular sehingga sulit
difagosit oleh sel-sel makrofag, berkoloni tunggal atau berpasangan. Memiliki
hospes spesifik yaitu ternak ruminansia besar. B. abortus memiliki
ukuran ± 0,5 – 1,5 μm. Sifat biologiknya bila terdapat di luar tubuh inang
tidak tahan terhadap pemanasan dan desinfektan (Frienchick dkk 1985).
B.
abortus menyebabkan brucellosis, penyakit ini menjadi
masalah di kalangan peternak karena sudah menyebar luas di Indonesia, sulit
untuk didiagnosa dan diobati, menghambat laju populasi ternak, tidak sedikit
menimbulkan kerugian ekonomi, dan menular pada manusia (zoonosis).
Kerugian ekonomi akibat brucellosis pada sapi dapat
terjadi karena abortus, sterilitas dan infertilitas, kematian dini anak-anak
sapi, dan penurunan dan penghentian produksi.
Brucellosis dapat terjadi baik pada hewan maupun
manusia. Penyakit yang terjadi bersifat zoonosis, ditularkan dari hewan ke
manusia melalui kontak langsung dengan bahan keguguran, karkas yang tercemar
dan minum susu sapi penderita brucellosis atau makan produk yang tercemar.
Brucella
abortus telah banyak
menginfeksi sapi-sapi perah di Indonesia. Brucella
abortus dapat mencemari susu segar, tetapi bakteri tersebut dapat dirusak
dengan perlakuan pasteurisasi. Pada infeksi yang kronis pada sapi betina
dewasa, bakteri bermukim di dalam kelenjar susu, kelenjar limfe supramammae,
retrofaringeal, iliaka interna dan eksterna. Oleh karena itu bakteri dapat
dikeluarkan melalui air susu (Nicoletti 1980).
Diagnosa
B. Abortus dapat dilakukan dengan
pemeriksaan bakteriologik dan pemeriksaan secara serologik. Pemeriksaan
bakteriologik merupakan upaya untuk menemukan atau mengisolasi bakteri. Untuk
pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan membuat preparat sentuh dari
organ tempat bersarangnya bakteri, kemudian diwarnai dengan pewarnaan koster
atau Ziel Nielsen. Untuk biakan kuman dapat dibiakkan bahan yang berasal dari
spesimen setelah melalui prosedur yang lazim dilakukan di laboratorium
bakteriologi (Meyer 1984).
Pemeriksaan
serologik prinsipnya yaitu menentukan adanya antibodi bakteri tersebut di dalam
serum atau cairan tubuh. Beberapa cara yang sifatnya masih konvensional seperti
uji Rose Bengal Test (RBT), Uji Serum Aglutinasi (SAT), uji ikat komplemen
(CFT), uji cincin air susu (MRT). Beberapa pengujian non konvensional yang
dapat juga di pakai antaralain Radio Immuno Sorbent Assay (RIA) dan Enzime
Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA).
Uji
RBT memiliki nilai kepercayaan mencapai 60 – 70 %, uji SAT mencapai 70 – 90%,
CFT 97 – 98%, dan MRT 73 – 92%. Dan uji alergik yaitu melihat adanya reaksi
pada kulit sapi yang menderita brucellosis setelah di suntik dengan antigen
ekstrak B. Abortus. Nilai kepercayaan
uji ini adalah 70 – 90%.
Identifikasi bahaya konsumsi susu
segar dan susu pasteurisasi terhadap Brucella abortus.
Susu pasteurisasi dilakukan dengan
pemanasan pada suhu 75oC selama 15 menit sehingga dapat
meminimalisir kontaminasi mikroorganisme di dalam susu. Bakteri B. abortus tidak tahan terhadap
pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa susu pasteurisasi tidak beresiko terhadap
penyakit brucellosis sehingga tidak perlu dilakukan analisis resiko.
Berdasarkan
tabel di atas maka konsumsi susu segar oleh konsumen diidentifikasi sebagai bahaya (hazard).
4.3. Penilaian Resiko
4.3.1 Penilaian Pelepasan
Penilaian pelepasan dilakukan di
peternakan dan pohon skenario dapat dilihat pada Gambar 2.
4.3.2.
Penilaian Pendedahan
Penilaian pendedahan dimulai ketika ada sejarah kasus penyakit
di peternakan. Pohon skenario di
jelaskan pada Gambar 3.
4.4.Estimasi
Risiko
Kesimpulan berdasarkan
hasil dari penilaian pelepasan dengan kecenderungan high risk, penilaian pendedahan dengan kecenderungan high risk, dan penilaian konsekuensi
dengan kecenderungan extreme risk
sehingga estimasi risiko yang dapat ditimbulkan jika mengkonsumsi susu segar
dari daerah atau peternakan yang endemik brucellosis adalah extreme risk.
4.5. Manajemen Risiko
Susu yang akan di konsumsi
dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 75oC selama 15 menit karena B. abortus tidak tahan terhadap
pemanasan dan desinfektan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan hasil dari penilaian
pelepasan dengan kecenderungan high risk,
penilaian pendedahan dengan kecenderungan high
risk, dan penilaian konsekuensi dengan kecenderungan extreme risk sehingga estimasi risiko yang dapat ditimbulkan jika
mengkonsumsi susu segar dari daerah atau peternakan yang endemik brucellosis
adalah extreme risk.
2.
Berdasarkan hasil analisis resiko
terhadap ancaman B. abortus pada
konsumen susu segar maka dinyatakan bahwa susu segar tersebut tidak boleh di
konsumsi.
3.
Pada susu pasteurisasi dilakukan
pemanasan pada 75oC selama 15 menit sehingga susu pasteurisasi dapat
dikonsumsi oleh konsumen karena B.
abortus merupakan bakteri yang tidak tahan pada perlakuan pemanasan.
5.2.
Saran
Susu yang akan di konsumsi dipanaskan terlebih
dahulu pada suhu 75oC selama 15 menit karena B. abortus tidak tahan terhadap pemanasan dan desinfektan.
DAFTAR PUSTAKA
ATSDR.
2005. ATSDR Public Health Assessment Guidance Manual. US Department of Health
and Human Services. Available: http://www.atsdr.cdc.gov/HAC/PHAManual/.
BPS. 2007.
Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) Tahun 2005", 2007.
BPS.
"Statistik Indonesia", beberapa edisi.
Corbel M. J. 2006. Brucellosis in
Human and Animals. World Health Organization.
Dwijoseputro. 1982. Dasar-dasar Mikrobiologi.
Penerbit Djambatan. Jakarta. Hadiwiyoto, S., 1994. Pengujian Mutu Susu
dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Ditjen Peternakan.
2006 Statistik Peternakan 2006. Ditjen Peternakan, Departemen Pertanian,
Jakarta.
EPA. 1986. Guidelines for the Health Risk Assessment of Chemical
Mixtures, EPA/630/R-98/002, . Washington DC:Risk Assessment Forum, US
Environmental Protection Agency. Available: http://www.epa.gov/ncea/raf/pdfs/chem_mix/chemmix_1986.pdf
[accessed 5 December 2006].
EPA. 2005. Guideline for Carcinogen Risk Assessment
(EPA/630/P-03/001B). Washington DC: Risk Assessment Forum, US Environmental
Protection Agency.
Frienchick, P.J
., R.J .F . Markham and A.H. Cocharane. 1985. Inhibition of phagosom lisosom
fusion in macrophages by soluble extracts of virulent B. abortus. Am . J. Vet .
Res. 46 (3) : 332-335.
IPCS. 2004. IPCS Risk Assessment Terminology, Part 1: IPCS/OECD
Key Generic Terms used in Chemical Hazard/Risk Assessment; Part 2: IPCS
Glossary of Key Exposure Assessment Terminology. Geneva: World Health
Organization and International Programme on Chemical Safety.
Kolluru RV. 1996. Health Risk Assessment: Principles and
Practices. In: Risk Assessment and Management Handbook for Environmental,
Health, and Safety Professionals (Kolluru RV, Bartell S, Pitblado R, Stricoff
S, eds). New York:McGraw-Hill, 4.3-4.68.
Louvar JF, Louvar BD. 1998. Health and Environmental Risk
Analysis: Fundamentals with Application. New Jersey:Prentice Hall.
Meyer, M.E .
1984. Bruccella . In Carter, G.R . (Edit) . Diagnosis Procedures in Veterinary
Bacteriology and Mycology. 4th ed. Charles C. Thomas Publisher. Springfield,
Ilinois.
Nicoletti, P.
1980 . The epidemiology of bovine brucellosis. In Brandly, C.A. and C.E .
Cornelius (Edits). Advances in veterinary science and comparative medicine .
Vol. 24. Academic Press. New York, London .
NRC. 1983. Risk Assessment in the Federal Government: Managing
Process. Washington DC:National Research Council, National Academic of Science
Press.
Sulistyowati Y. 2009. Pemeriksaan Mikrobiologik Susu Sapi Murni
dari Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. 2009 www.etd.eprints.ums.ac.id/ 5125/1/K100050045.pdf. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
WHO.
1983. Environmental Health Criteria 27: Guidelines on Studies in Environmental
Epidemiology. Geneva:World Health Organization.
0 komentar:
Posting Komentar