Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian dunia. Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella abortus. Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi. Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri Brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Bruselosis adalah penyakit zoonosis serius yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati, turunnya produksi susu dan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Penularannya yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak yang ketat menyebabkan penyakit ini termasuk salah satu golongan penyakit menular strategis.

Pulau Jawa sebagai sentra sapi perah dengan populasi mencapai 98% dari populasi nasional menghadapi masalah bruselosis dengan angka prevalensi yang masih cukup tinggi. Tingginya populasi serta sanitasi dan higiene kandang yang kurang memadai memudahkan penularan penyakit melalui kontak langsung. Selain itu tidak telihatnya gejala klinis pada ternak reaktor bruselosis, sukarnya monitoring lalu-lintas ternak, belum optimalnya pelaksanaan test and slaughter, tidak sesuainya biaya kompensasi dengan jumlah kasus, pemakaian vaksin B. abortus S19 di beberapa daerah, dan belum optimalnya keikutsertaan petani dalam penaggulangan menjadi penyebab sulitnya melakukan pemberantasan dan pengendalian bruselosis pada sapi perah.
Program pengendalian dan pemberantasan bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa dengan sistem potong bersyarat, belum menunjukkan hasil yang optimal malah penyebaran penyakit dari tahun ke tahun semakin meningkat. Oleh karena itu bruselosis menjadi salah satu prioritas nasional untuk dilakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit.

A.    Permasalahan
Bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa telah dikenal sejak tahun 1925 sebagai penyakit keluron ketika Kirschner berhasil mengisolasi kuman Brucella dari janin sapi yang abortus di daerah Bandung, kemudian tahun 1927 di Aceh dan Sumatera Utara sampai akhirnya bruselosis semakin menyebar terutama di peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan jumlah reaktor yang bervariasi. Hingga kini bruselosis telah menyebar di 26 propinsi di Indonesia, kecuali Bali dan Lombok yang baru dinyatakan bebas penyakit bruselosis pada tahun 2002. Prevalensi bruselosis pada sapi perah bervariasi dari 1% hingga 40% (Noor 2006).
Spesies Brucella yang menginfeksi sapi-sapi di Indonesia adalah strain B. abortus biotipe 1. Kuman B. abortus biotipe 1 adalah merupakan isolat lokal yang paling patogen sehingga mampu menimbulkan keguguran dan infeksi yang meluas pada organ dan jaringan tubuh sapi. Kuman penyebab bruselosis pada sapi perah di daerah DKI Jakarta terdiri dari B. abortus biotipe 1 (77,6%), biotipe 2 (13,2%) dan biotipe 3 (9,2%). Biotipe tersebut yang diduga telah menyerang ternak diberbagai wilayah di Indonesia (Noor 2006).
Menurut laporan dari Balai Besar Veteriner Wates, kasus bruselosis di Pulau Jawa pada sapi perah pada tahun 1977 sebesar 14% dari sampel 2.782 ekor, tahun 1998 sebesar 22% dari sampel 777 ekor dan tahun 1999 sebesar 20% dari sampel 1.539 ekor (Ditjennak, 2000). Pada Tabel 1 adalah sebaran reaktor positif bruselosis pada sapi perah di beberapa propinsi di Pulau Jawa pada tahun 2000 sampai 2003. Terlihat bahwa banyaknya reaktor positif bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa masih cukup tinggi dari tahun ke tahun walaupun penanggulangan penyakit secara nasional telah dilakukan sejak tahun 1998 (Noor 2006).
Oleh sebab itu perlu diambil langkah-langkah yang terprogram untuk pencegahan dan pemberantasannya. Apabila bruselosis tidak ditanggulangi maka dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar mencapai 138,5 milyar rupiah setiap tahun meskipun mortalitas akibat penyakit ini relatif kecil (Ditjennak 2000).
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh bruselosis disebabkan oleh terjadinya abortus, anak lahir lemah dan mati, sterilitas akibat gangguan reproduksi, turunnya produksi susu serta turunnya akses pasar baik skala nasional maupun internasional karena penyakit ini juga besifat zoonosis.
  
A.    Tujuan
1.      Menentukan prevalensi Bruselosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa selama kurun waktu 3 (tiga) tahun (2000,2002 dan 2003).
2.      Menentukan cara pengendalian Bruselosis pada Sapi perah.

B.       Metode
Metode yang digunakan adalah studi literatur. Data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Bruselosis
 Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian dunia. Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella abortus. Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi. Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Bruselosis adalah penyakit zoonosis serius yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati dan kerugian ekonomi yang sangat besar. Sapi dapat terinfeksi oleh Brucella melitensis dan Brucella suis ketika merumput atau menggunakan secara bersama-sama peralatan kambing, domba atau babi yang terinfeksi (Noor 2006).

B.       Etiologi

Bruselosis disebabkan oleh infeksi dari berbagai spesies dari genus brucella, termasuk pada bakteri gram negatif, coccobacillus fakultatif intraseluler atau berbatang pendek. Organisme ini biasanya aerobik tetapi pada beberapa jenis memerlukan lingkungan yang mengandung karbondioksida 5-10%. Pertumbuhan Brucella sp lambat, kadang-kadang memakan waktu 2-3 hari dengan memerlukan media enriched dengan suhu 37o C. Beberapa spesies yang dapat menginfeksi hewan antara lain: Brucella abortus, B. Melitensis, B. Suis, B. Ovis, B. canis dan B. Neotomae (Toelihere 1985).
BAB III
PEMBAHASAN

A.      Epidemiologi Bruselosis
Bruselosis merupakan penyakit pada ternak yang biasanya tidak menyebabkan gejala yang jelas dan terjadi secara kronis atau menahun. Penyebaran penyakit dalam suatu populasi terutama disebabkan oleh pakan yang terkontaminasi. Infeksi melalui kontak perkawinan juga biasa terjadi terutama pada infeksi B.suis. Infeksi secara kongenital (in utero) atau infeksi perinatal juga bisa terjadi dengan perkembangan infeksi yang laten. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi, kejadian penyakit pada manusia erat kaitannya dengan prevalensi bruselosis pada hewan, praktek-praktek atau kontak langsung dengan hewan yang berpotensi penyakit dan produk hewan itu sendiri. Penularan bruselosis pada manusia melalui kontak langsung biasa terjadi pada dokter hewan, penggembala, peternak atau pekerja rumah potong hewan. Di beberapa negara lain banyak manusia yang terinfeksi bruselosis melalui produk hewan yaitu dengan adanya kebiasaan meminum susu tanpa pasteurisasi atau memakan keju yang berasal dari susu yang tidak dipasteurisasi.
Bruselosis pada sapi bersifat kronis dengan fase bakterimia yang subklinis. Sumber penularan bruselosis pada sapi yang utama berasal cairan plesenta dan sisa-sisa abortusan. Predeleksi bakteri tersebut terutama pada uterus sapi betina. Penularan penyakit biasanya terjadi melalui makanan atau saluran pencernaan, selaput lendir mata, kulit yang luka, ambing, inseminasi buatan dengan semen yangtercemar dan plasenta. Sapi dewasa dan terutama sapi yang sedang bunting sangat peka terhadap infeksi B. abortus, sedangkan pada dara dan sapi tidak bunting banyak yang resisten terhadap infeksi. Penularan melalui inhalasi juga dilaporkan terutama ketika ternak sehat dan ternak yang mengalami abortus ditempatkan dalam satu kandang yang padat dengan sanitasi buruk.
Bruselosis adalah salah satu penyakit zoonosis penting yang pernah tersebar diseluruh dunia. Penyakit ini walaupun telah berhasil dikendalikan di beberapa negara maju tetapi masih menjadi masalah di beberapa negara di Afrika, Mediteranian, Timur tengah, sebagian Asia dan Amerika latin. Negara negara seperti Jepang, Kanada, beberapa negara Eropa, Australia, Selandia Baru dan Israel telah berhasil memberantas bruselosis. Semua hewan domestik dapat menderita bruselosis. Bruselosis pada kerbau telah dilaporkan di Egypt (10.0%) dan pakistan (5.05%). Pada unta bruselosis dilaporkan di negara negara Arab dan Afrika (0.0-17.20%), pada saat itu juga dilaporkan kasus yang terjadi pada kerbau, kuda dan babi. Pada sapi, domba, kambing dan babi yang telah mengalami dewasa kelamin rentan terhadap bruselosis. Pada hewan yang muda biasanya terjadi resisten walaupun dapat terjadi infeksi laten pada saat hewan tersebut telah dewasa
Di Indonesia, bruselosis secara serologis diketahui pertama kali pada tahun 1953, ditemukan pada sapi perah di Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B. abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 penyakit bruselosis juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit hewan menular yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang staatsblaad 1912 No.432 dan 435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad tersebut. Lebih lanjut dalam catatan Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957 bruselosis belum dimasukan ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia sedangkan penyakit ini diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1958 roza mengusulkan agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai penyakit hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri pertanian No5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan dan tindakan-tindakan terhadap hewan bruselosis.
Beberapa daerah telah bebas bruselosis yaitu Pulau Lombok di Prop NTB (SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Bali (SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Sumbawa di Prop NTB (SK Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006), Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Kep. Riau (SK Mentan No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009), dan Pulau Kalimantan (SK Mentan No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009). Namun kasus Bruselosis telah ditemukan di 16 provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Aceh, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. 
Tabel 1. Jumlah Reaktor Positif Bruselosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa
Propinsi
Tahun
∑ Sampel
∑ Positif
Persentasi
Jawa Timur
2001
4926
178
3,6%

2002
3991
855
21,4%

2003
1012
254
25,1%
Jawa Tengah
2001
-
160
3,6%

2002
442
160
36,2%

2003
82
23
28,1%
Jawa Barat
2001
12.446
43
0,3%

2002
964
183
18, 9%

2003
1019
29
2,8%
DKI
2001
651
111
17%

2002
607
188
30, 9%

2003
296
62
20, 9%
DIY
2001
552
-
-

2002
-
-
-

2003
4
1
25%
Sumber: (Dirkeswan 2004)

Sumber utama infeksi adalah cairan leleran dari sapi betina abortus yang mencemari lingkungan via fetus, litter dan peralatan yang terkontaminasi. Ingesti pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan bruselosis. Penularan juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang mengandung kuman Brucella sp atau melalui kontak langsung. Brucella abortus paling sering ditemukan pada kelompok ternak yang bebas bruselosis melalui pemasukan sapi betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari hewan lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan manusia yang terpapar. Bruselosis dapat menginfeksi hewan melalui luka pada kulit, konjunktivita mata, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Dalam saluran pencernaan, organisme akan difagosit oleh sel dari epitel usus yang terkait dengan jaringan limfoid lalu akan terus masuk ke submukosa. Organisme dengan cepat dicerna oleh leukosit polimorfnuklear tapi pada umumnya gagal dieleminasi kemudian difagositosis oleh makrofag. Bakteri kemudian diangkut oleh makrofag ke jaringan limfoid dan akhirnya melokalisasi di beberapa organ seperti kelenjar getah bening, hati, limpa, kelenjar susu, sendi, ginjal dan sumsum tulang. Pada ruminansia, organisme Brucella dapat melewati pertahanan tubuh inang yang paling efektif dengan menargetkan jaringan embrio dan trofoblas. Pada sel dari jaringan, bakteri tidak hanya tumbuh di phagosome tetapi juga dalam sitoplasma dan retikulum endoplasma kasar. Dengan tidak adanya mekanisme mikrobisidal intraseluler maka akan menyebabkan kemungkinan pertumbuhan bakteri, sehingga menyebabkan kematian janin dan aborsi. Pada saat kelahiran eritriol yang meningkatkan pertumbuhan Brucella berkumpul di plasenta. Pada organ plasenta saat aborsi kemungkinan berisi 1010 bakteri per gram jaringan.
A.      Permasalahan Pengendalian Bruselosis Di Pulau Jawa
Berikut adalah permasalahan-permasalahan yang di identifikasi dalam pengendalian penyakit bruselosis di Pulau Jawa yaitu:
1. Ternak yang terserang bruselosis biasanya tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis), produksi susu tetap tinggi dan terjadinya abortus biasanya satu kali pada kebuntingan pertama, sehingga mengakibatkan petani enggan melakukan pemotongan.
2.   Pemberian kompensasi oleh pemerintah terhadap ternak yang dipotong menghadapi kendala berupa tidak sesuainya jumlah ternak yang dipotong dengan kompensasi. Selain itu turunnya dana kompensasi tidak bersamaan dengan hasil uji serologis sehingga memungkinkan penularan terjadi.
3.   Pengawasan lalu-lintas ternak antar wilayah di Pulau jawa sangat kompleks sehingga sangat sulit untuk melakukan pengawasan pergerakkannya.
4.   Pelaksanaan Test and Slaughter belum dapat dilakukan secara serentak dan optimal karena keterbatasan dana, sumber daya manusia dan belum optimalnya sosialisasi program.
5.   Adanya pemakaian vaksin B. abortus S19 dibeberapa daerah yang mengakibatkan kesulitan untuk membedakan dengan infeksi alam.
                                                                                                                       (Noor 2006)

B.       Standar Internasional Strategi Pencegahan Dan Pengendalian Bruselosis
Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan termasuk bruselosis merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehan hewan. Pemilihan strategi dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab kontroversi diantara pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan kualitas instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber daya ekonomi yang tersedia dan prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi sangat penting sebagai dasar untuk melaksanakan program strategi ini.
Pencegahan penyakit akan selalu lebih ekonomis dan praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi pencegahan bruselosis meliputi :
• Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis dan harus berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula.
•  Isolasi ternak pengganti setidaknya selama 30 hari dan dilakukan pemeriksaan secara serologis.
• Pencegahan kontak dengan ternak lain
• Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per tahun) dan pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur skrining serologis sederhana seperti RBT dan CFT.
•  Melakukan disposal pada material bekas aborsi (fetus, plasenta dan organ lainnya) dengan cara penguburan atau pembakaran serta desinfeksi daerah yang terkontaminasi secara menyeluruh.

C.      Strategi Pengendalian
Tujuan dari program pengendalian hewan adalah untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi ekonomi. Eliminasi penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program kontrol, kejadian penyakit masih ada dalam populasi dengan prevalensi yang dapat diterima. Program pengendalian memiliki durasi yang tidak terbatas dan perlu dipertahankan bahkan setelah "tingkat yang dapat diterima" infeksi telah tercapai, sehingga penyakit tidak muncul kembali. Di banyak negara, metode untuk pengendalian bruselosis didukung oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan tetapi ada di sebagian negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk pengelolaan populasi ternak yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang berlaku, yaitu: 1) Pengurangan paparan Brucella sp. dan 2) Meningkatkan perlawanan terhadap infeksi hewan dalam populasi. Prosedur Ini selanjutnya dapat diklasifikasikan pada kategori umum yaitu test and Isolation/slaughter, higiene lingkungan, pengendalian lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk menentukan status daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.

D.    Pengendalian Bruselosis Pada Sapi Perah Di Pulau Jawa
Penanggulangan bruselosis pada sapi perah dengan sistem test and slaughter yang telah dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Pengendalian bruselosis dengan sistem test and slaughter akan dapat dicapai apabila prinsip-prinsip pengendalian dilakukan sesuai prosedur dimana semua sapi reaktor positip dipotong serta pengawasan lalulintas yang ketat antar pulau, Propinsi, Kabupaten/ kota. Namun karena dalam pelaksanaan sampling di lapangan belum optimal dengan adanya kendala berupa dana, sumberdaya manusia dan waktu pelaksanaanya maka sistem tersebut kurang efektif untuk pengendalian bruselosis.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka mulai tahun 2005, pemerintah telah mencanangkan program pengendalian bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa melalui kombinasi program vaksinasi di daerah tertular/ prevalensi >2% memakai vaksin B. Abortus RB51 dan sistem test and slaughter pada daerah bebas bruselosis/ prevalensi <2% (Ditjennak, 2000). Sebagai dasar kebijakan pelaksanaan operasional pemberantasan bruselosis mengacu pada SK Menteri Pertanian No 828 tahun 1998 tentang pengamatan, pengawasan lalu-lintas, vaksinasi dan test and slaughter (potong bersyarat).
Vaksin B. Abortus RB51 telah ditetapkan untuk program vaksinasi pada sapi perah di Pulau Jawa. Vaksin RB51 dikembangkan sejak tahun 1991 diderivasi dari koloni B. abortus strain 2308. Vaksin B. abortus RB51 tersebut mempunyai tingkat proteksi yang tidak berbeda dengan vaksin B. abortus S19, tidak menimbulkan reaksi post vaksinasi seperti abortus dan antibodi yang dihasilkan tidak terdeteksi dengan uji serologis standar Rose Bengal Test dan Complement Fixation Test, sehingga tidak mengacaukan diagnosis dengan infeksi bruselosis secara alami. Uji lapang tentang keamanan vaksin B. abortus RB51 pada sapi perah telah dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Wates di daerah Cisarua. Hasil uji lapang menunjukkan bahwa vaksin B. abortus RB51 tidak menyebabkan reaksi klinispasca vaksinasi seperti anafilaksis, arthritis, demam tnggi dan penurunan nafsu makan. Selain itu vaksin B. abortus RB51 tidak menyebabkan reaksi positip palsu seperti halnya pada vaksinasi dengan strain S19 (Noor 2006).
Vaksinasi bruselosis dengan vaksin B. abortus RB51 akan dilakukan pada daerah dengan prevalensi penyakit >2%, dimana vaksin akan diberikan ke semua sapi perah baik yang tidak terinfeksi maupun sapi reaktor. Saat ini program vaksinasi dengan vaksin B. abortus RB51 telah dilakukan di propinsi Jawa Barat. Berdasarkan program pengendalian tersebut diharapkan pada tahun 2010 Pulau Jawa dapat bebas dari penyakit bruselosis.

E.     Pembebasan Suatu Wilayah
Suatu negara atau daerah dapat dianggap bebas bruselosis setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Wajib melaporkan apabila ditemukan adanya hewan tersangka bruselosis
2. Surveilans dilakukan diseluruh wilayah oleh instansi berwenang. Tingkat infeksi atau prevalensi di wilayah tersebut tidak boleh lebih dari 0.2%
3. Dilakukan pengujian diagnostik pada populasi hewan secara periodik
4. Tidak dilakukan vaksinasi paling tidak selama tiga tahun terakhir
5. Dilakukan kebijakan pemotongan pada semua hewan reaktor.
6. Pemasukan hewan rentan bruselosis ke daerah bebas bruselosis harus berasal dari daerah yang bebas bruselosis juga. Kondisi ini bisa diperbolehkan apabila hewan tersebut tidak divaksinasi dan dilakukan pengujian serologi dengan hasil negatif yang dilakukan dua kali (duplo) dengan jarak waktu 30 hari diantara kedua pengujian. Pengujian kedua dilaksanakan 15 hari sebelum keberangkatan. Kondisi ini dianggap tidak sah pada sapi yang baru melahirkan selama 14 hari.
Pada daerah bebas bruselosis yang telah dinyatakan bebas dan tidak ditemukan reaktor selama 5 tahun terakhir, sistem pengendalian diserahkan pada daerah yang bersangkutan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
Pengendalian bruselosis pada sapi perah dengan sistem Test and Slaughter yang telah diterapkan selama ini belum memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu pengendalian bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa kedepan dilakukan dengan kombinasi program vaksinasi pada daerah tertular berat (prevalensi >2%) dengan menggunakan vaksin B. abortus RB51 dan program test and slaughter pada daerah tertular ringan (prevalensi <2%). Keberhasilan penanggulangan bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa sangat diperlukan dukungan pemerintah, dana, sumber daya manusia yang professional dan akan terwujud apabila diikuti dengan seluruh prosedur yang benar serta komitmen dari seluruh aparat yang terkait dan masyarakat peternak melalui sosialisasi program didukung dengan pengawasan lalu-lintas ternak secara ketat.

B.       Saran
  1. Monitoring dan surveilens Bruselosis di Pulau Jawa sebaiknya dilakukan secara periodik untuk memantau perkembangan penyakit.
  2. Perlu dilakukan penyuluhan terhadap pelaku usaha peternakan sebagai salah satu upaya untuk pencegahan dan pengendalian penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

Dirkeswan, 2004. Paper: Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Bruselosis di Indonesia khususnya P. Jawa. Jakarta, Departemen Pertanian.

Ditjennak, 2000. Program dan Pedoman Teknis Pemberantasan Bruselosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Jakarta, Departemen Pertanian.

Noor, S M, 2006. Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa. Bogor, Balai Penelitian veteriner.

Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta, UI. Pres.

1 komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu

Blogroll

Blogger templates

Blogger news