BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bruselosis merupakan salah satu penyakit
zoonosis utama yang bisa berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan
perekonomian di banyak bagian dunia. Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella
abortus. Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever,
Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah
tempat pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant
fever karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada
orang yang terinfeksi. Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung maupun
tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi.
Oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri Brucella sebaiknya
tak bersentuhan langsung dengan manusia. Bruselosis adalah penyakit zoonosis
serius yang menyebabkan aborsi, infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati,
turunnya produksi susu dan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Penularannya yang relatif cepat antar
daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak yang
ketat menyebabkan penyakit ini termasuk salah satu golongan penyakit menular
strategis.
Pulau Jawa sebagai sentra sapi perah
dengan populasi mencapai 98% dari populasi nasional menghadapi masalah bruselosis
dengan angka prevalensi yang masih cukup tinggi. Tingginya populasi serta
sanitasi dan higiene kandang yang kurang memadai memudahkan penularan penyakit
melalui kontak langsung. Selain itu tidak telihatnya gejala klinis pada ternak
reaktor bruselosis, sukarnya monitoring lalu-lintas ternak, belum optimalnya
pelaksanaan test and slaughter, tidak sesuainya biaya kompensasi dengan
jumlah kasus, pemakaian vaksin B. abortus S19 di beberapa daerah, dan
belum optimalnya keikutsertaan petani dalam penaggulangan menjadi penyebab
sulitnya melakukan pemberantasan dan pengendalian bruselosis pada sapi perah.
Program pengendalian dan pemberantasan bruselosis
pada sapi perah di Pulau Jawa dengan sistem potong bersyarat, belum menunjukkan
hasil yang optimal malah penyebaran penyakit dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Oleh karena itu bruselosis menjadi salah satu prioritas nasional
untuk dilakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit.
A. Permasalahan
Bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa
telah dikenal sejak tahun 1925 sebagai penyakit keluron ketika Kirschner
berhasil mengisolasi kuman Brucella dari janin sapi yang abortus di daerah
Bandung, kemudian tahun 1927 di Aceh dan Sumatera Utara sampai akhirnya bruselosis
semakin menyebar terutama di peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Jawa Timur dengan jumlah reaktor yang bervariasi. Hingga kini bruselosis
telah menyebar di 26 propinsi di Indonesia, kecuali Bali dan Lombok yang baru
dinyatakan bebas penyakit bruselosis pada tahun 2002. Prevalensi bruselosis
pada sapi perah bervariasi dari 1% hingga 40% (Noor 2006).
Spesies Brucella yang menginfeksi
sapi-sapi di Indonesia adalah strain B. abortus biotipe 1. Kuman B.
abortus biotipe 1 adalah merupakan isolat lokal yang paling patogen
sehingga mampu menimbulkan keguguran dan infeksi yang meluas pada organ dan
jaringan tubuh sapi. Kuman penyebab bruselosis pada sapi perah di daerah DKI
Jakarta terdiri dari B. abortus biotipe 1 (77,6%), biotipe 2 (13,2%) dan
biotipe 3 (9,2%). Biotipe tersebut yang diduga telah menyerang ternak
diberbagai wilayah di Indonesia (Noor 2006).
Menurut laporan dari Balai Besar
Veteriner Wates, kasus bruselosis di Pulau Jawa pada sapi perah pada tahun 1977
sebesar 14% dari sampel 2.782 ekor, tahun 1998 sebesar 22% dari sampel 777 ekor
dan tahun 1999 sebesar 20% dari sampel 1.539 ekor (Ditjennak, 2000). Pada Tabel
1 adalah sebaran reaktor positif bruselosis pada sapi perah di beberapa
propinsi di Pulau Jawa pada tahun 2000 sampai 2003. Terlihat bahwa banyaknya
reaktor positif bruselosis pada sapi perah di Pulau Jawa masih cukup tinggi
dari tahun ke tahun walaupun penanggulangan penyakit secara nasional telah
dilakukan sejak tahun 1998 (Noor 2006).
Oleh sebab itu perlu diambil langkah-langkah
yang terprogram untuk pencegahan dan pemberantasannya. Apabila bruselosis tidak
ditanggulangi maka dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar
mencapai 138,5 milyar rupiah setiap tahun meskipun mortalitas akibat penyakit
ini relatif kecil (Ditjennak 2000).
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh bruselosis
disebabkan oleh terjadinya abortus, anak lahir lemah dan mati, sterilitas
akibat gangguan reproduksi, turunnya produksi susu serta turunnya akses pasar
baik skala nasional maupun internasional karena penyakit ini juga besifat zoonosis.
A.
Tujuan
1. Menentukan
prevalensi Bruselosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa selama kurun waktu 3
(tiga) tahun (2000,2002 dan 2003).
2. Menentukan
cara pengendalian Bruselosis pada Sapi perah.
B.
Metode
Metode
yang digunakan adalah studi literatur. Data yang digunakan berupa data sekunder
yang diperoleh dari berbagai sumber.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Bruselosis
Bruselosis
merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa berdampak negatif pada
kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian dunia. Agen patogen
utama pada sapi adalah genus Brucella abortus. Penyakit ini pada manusia
dikenal dengan Malta fever, Mediterranean fever dan Gilbaltar fever sesuai
dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit ini ditemukan. Juga dikenal
sebagai nama undulant fever karena gejala demam dengan suhu yang
bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi. Infeksi penyakit ini
ditularkan secara langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan
atau produk hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu alat-alat yang telah
tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan
manusia. Bruselosis adalah penyakit zoonosis serius yang menyebabkan aborsi,
infertilitas, retensi plasenta, kelahiran mati dan kerugian ekonomi yang sangat
besar. Sapi dapat terinfeksi oleh Brucella melitensis dan Brucella
suis ketika merumput atau menggunakan secara bersama-sama peralatan
kambing, domba atau babi yang terinfeksi (Noor
2006).
B.
Etiologi
Bruselosis disebabkan oleh infeksi dari
berbagai spesies dari genus brucella, termasuk pada bakteri gram
negatif, coccobacillus fakultatif intraseluler atau berbatang pendek.
Organisme ini biasanya aerobik tetapi pada beberapa jenis memerlukan lingkungan
yang mengandung karbondioksida 5-10%. Pertumbuhan Brucella sp lambat,
kadang-kadang memakan waktu 2-3 hari dengan memerlukan media enriched dengan
suhu 37o C. Beberapa
spesies yang dapat menginfeksi hewan antara lain: Brucella abortus, B.
Melitensis, B. Suis, B. Ovis, B. canis dan B. Neotomae (Toelihere 1985).
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Epidemiologi Bruselosis
Bruselosis merupakan penyakit pada
ternak yang biasanya tidak menyebabkan gejala yang jelas dan terjadi secara
kronis atau menahun. Penyebaran penyakit dalam suatu populasi terutama disebabkan
oleh pakan yang terkontaminasi. Infeksi melalui kontak perkawinan juga biasa
terjadi terutama pada infeksi B.suis. Infeksi secara kongenital (in
utero) atau infeksi perinatal juga bisa terjadi dengan perkembangan infeksi
yang laten. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi, kejadian penyakit
pada manusia erat kaitannya dengan prevalensi bruselosis pada hewan,
praktek-praktek atau kontak langsung dengan hewan yang berpotensi penyakit dan
produk hewan itu sendiri. Penularan bruselosis pada manusia melalui kontak
langsung biasa terjadi pada dokter hewan, penggembala, peternak atau pekerja
rumah potong hewan. Di beberapa negara lain banyak manusia yang terinfeksi
bruselosis melalui produk hewan yaitu dengan adanya kebiasaan meminum susu
tanpa pasteurisasi atau memakan keju yang berasal dari susu yang tidak
dipasteurisasi.
Bruselosis pada sapi bersifat kronis
dengan fase bakterimia yang subklinis. Sumber penularan bruselosis pada sapi
yang utama berasal cairan plesenta dan sisa-sisa abortusan. Predeleksi bakteri
tersebut terutama pada uterus sapi betina. Penularan penyakit biasanya terjadi
melalui makanan atau saluran pencernaan, selaput lendir mata, kulit yang luka,
ambing, inseminasi buatan dengan semen yangtercemar dan plasenta. Sapi dewasa
dan terutama sapi yang sedang bunting sangat peka terhadap infeksi B.
abortus, sedangkan pada dara dan sapi tidak bunting banyak yang resisten
terhadap infeksi. Penularan melalui inhalasi juga dilaporkan terutama ketika
ternak sehat dan ternak yang mengalami abortus ditempatkan dalam satu kandang
yang padat dengan sanitasi buruk.
Bruselosis adalah salah satu penyakit
zoonosis penting yang pernah tersebar diseluruh dunia. Penyakit ini walaupun
telah berhasil dikendalikan di beberapa negara maju tetapi masih menjadi
masalah di beberapa negara di Afrika, Mediteranian, Timur tengah, sebagian Asia
dan Amerika latin. Negara negara seperti Jepang, Kanada, beberapa negara Eropa,
Australia, Selandia Baru dan Israel telah berhasil memberantas bruselosis.
Semua hewan domestik dapat menderita bruselosis. Bruselosis pada kerbau telah
dilaporkan di Egypt (10.0%) dan pakistan (5.05%). Pada unta bruselosis
dilaporkan di negara negara Arab dan Afrika (0.0-17.20%), pada saat itu juga
dilaporkan kasus yang terjadi pada kerbau, kuda dan babi. Pada sapi, domba,
kambing dan babi yang telah mengalami dewasa kelamin rentan terhadap
bruselosis. Pada hewan yang muda biasanya terjadi resisten walaupun dapat
terjadi infeksi laten pada saat hewan tersebut telah dewasa
Di Indonesia, bruselosis secara
serologis diketahui pertama kali pada tahun 1953, ditemukan pada sapi perah di
Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B. abortus berhasil diisolasi pada
tahun 1938. Pada tahun 1940 penyakit bruselosis juga dilaporkan di Sumatera
Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit sane (radang sendi) atau
sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit hewan menular yang
diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang staatsblaad 1912 No.432 dan
435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad tersebut. Lebih lanjut
dalam catatan Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957 bruselosis belum
dimasukan ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia sedangkan penyakit ini
diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak peternakan sapi perah di
Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1958 roza mengusulkan
agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai penyakit hewan menular dan pada
tahun 1959 terbit surat keputusan menteri pertanian No5494 C/SK/M tertanggal 4
Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan dan tindakan-tindakan terhadap hewan
bruselosis.
Beberapa daerah telah bebas bruselosis
yaitu Pulau Lombok di Prop NTB (SK Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau
Bali (SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002), Pulau Sumbawa di Prop NTB (SK
Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006), Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan
Kep. Riau (SK Mentan No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009), dan Pulau Kalimantan (SK
Mentan No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009). Namun kasus Bruselosis telah ditemukan di
16 provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Aceh, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku
Utara, dan Papua.
Tabel
1.
Jumlah Reaktor Positif Bruselosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa
Propinsi
|
Tahun
|
∑
Sampel
|
∑
Positif
|
Persentasi
|
Jawa
Timur
|
2001
|
4926
|
178
|
3,6%
|
2002
|
3991
|
855
|
21,4%
|
|
2003
|
1012
|
254
|
25,1%
|
|
Jawa
Tengah
|
2001
|
-
|
160
|
3,6%
|
2002
|
442
|
160
|
36,2%
|
|
2003
|
82
|
23
|
28,1%
|
|
Jawa
Barat
|
2001
|
12.446
|
43
|
0,3%
|
2002
|
964
|
183
|
18,
9%
|
|
2003
|
1019
|
29
|
2,8%
|
|
DKI
|
2001
|
651
|
111
|
17%
|
2002
|
607
|
188
|
30,
9%
|
|
2003
|
296
|
62
|
20,
9%
|
|
DIY
|
2001
|
552
|
-
|
-
|
2002
|
-
|
-
|
-
|
|
2003
|
4
|
1
|
25%
|
Sumber: (Dirkeswan 2004)
Sumber utama infeksi adalah cairan
leleran dari sapi betina abortus yang mencemari lingkungan via fetus, litter
dan peralatan yang terkontaminasi. Ingesti pakan/makanan yang terkontaminasi
merupakan rute utama penularan bruselosis. Penularan juga dapat terjadi melalui
inhalasi debu yang mengandung kuman Brucella sp atau melalui kontak
langsung. Brucella abortus paling sering ditemukan pada kelompok ternak
yang bebas bruselosis melalui pemasukan sapi betina dan dara yang terinfeksi
secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari hewan lain yang telah terinfeksi
(kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan manusia yang terpapar. Bruselosis
dapat menginfeksi hewan melalui luka pada kulit, konjunktivita mata, saluran
pernafasan dan saluran pencernaan. Dalam saluran pencernaan, organisme akan
difagosit oleh sel dari epitel usus yang terkait dengan jaringan limfoid lalu
akan terus masuk ke submukosa. Organisme dengan cepat dicerna oleh leukosit
polimorfnuklear tapi pada umumnya gagal dieleminasi kemudian difagositosis oleh
makrofag. Bakteri kemudian diangkut oleh makrofag ke jaringan limfoid dan
akhirnya melokalisasi di beberapa organ seperti kelenjar getah bening, hati,
limpa, kelenjar susu, sendi, ginjal dan sumsum tulang. Pada ruminansia,
organisme Brucella dapat melewati pertahanan tubuh inang yang paling
efektif dengan menargetkan jaringan embrio dan trofoblas. Pada sel dari
jaringan, bakteri tidak hanya tumbuh di phagosome tetapi juga dalam sitoplasma
dan retikulum endoplasma kasar. Dengan tidak adanya mekanisme mikrobisidal
intraseluler maka akan menyebabkan kemungkinan pertumbuhan bakteri, sehingga
menyebabkan kematian janin dan aborsi. Pada saat kelahiran eritriol yang
meningkatkan pertumbuhan Brucella berkumpul di plasenta. Pada organ
plasenta saat aborsi kemungkinan berisi 1010 bakteri per gram
jaringan.
A.
Permasalahan
Pengendalian Bruselosis Di Pulau Jawa
Berikut adalah permasalahan-permasalahan
yang di identifikasi dalam pengendalian penyakit bruselosis di Pulau Jawa yaitu:
1.
Ternak yang terserang bruselosis biasanya tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis),
produksi susu tetap tinggi dan terjadinya abortus biasanya satu kali pada
kebuntingan pertama, sehingga mengakibatkan petani enggan melakukan pemotongan.
2.
Pemberian kompensasi oleh pemerintah
terhadap ternak yang dipotong menghadapi kendala berupa tidak sesuainya jumlah
ternak yang dipotong dengan kompensasi. Selain itu turunnya dana kompensasi
tidak bersamaan dengan hasil uji serologis sehingga memungkinkan penularan
terjadi.
3.
Pengawasan lalu-lintas ternak antar wilayah
di Pulau jawa sangat kompleks sehingga sangat sulit untuk melakukan pengawasan
pergerakkannya.
4.
Pelaksanaan Test and Slaughter belum
dapat dilakukan secara serentak dan optimal karena keterbatasan dana, sumber daya
manusia dan belum optimalnya sosialisasi program.
5.
Adanya pemakaian vaksin B. abortus S19
dibeberapa daerah yang mengakibatkan kesulitan untuk membedakan dengan infeksi
alam.
(Noor 2006)
B. Standar
Internasional Strategi Pencegahan Dan Pengendalian Bruselosis
Pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan penyakit hewan termasuk bruselosis merupakan tujuan utama dari
pelayanan kesehan hewan. Pemilihan strategi dalam pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan penyakit hewan menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab
kontroversi diantara pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan harus
sesuai dengan kualitas instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber daya ekonomi
yang tersedia dan prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi sangat
penting sebagai dasar untuk melaksanakan program strategi ini.
Pencegahan penyakit akan selalu lebih
ekonomis dan praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi
pencegahan bruselosis meliputi :
•
Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis dan harus
berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula.
•
Isolasi ternak pengganti setidaknya
selama 30 hari dan dilakukan pemeriksaan secara serologis.
•
Pencegahan kontak dengan ternak lain
•
Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per tahun) dan
pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur skrining serologis sederhana
seperti RBT dan CFT.
•
Melakukan disposal pada material bekas
aborsi (fetus, plasenta dan organ lainnya) dengan cara penguburan atau
pembakaran serta desinfeksi daerah yang terkontaminasi secara menyeluruh.
C.
Strategi Pengendalian
Tujuan dari program pengendalian hewan
adalah untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi ekonomi. Eliminasi
penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program kontrol, kejadian penyakit
masih ada dalam populasi dengan prevalensi yang dapat diterima. Program
pengendalian memiliki durasi yang tidak terbatas dan perlu dipertahankan bahkan
setelah "tingkat yang dapat diterima" infeksi telah tercapai,
sehingga penyakit tidak muncul kembali. Di banyak negara, metode untuk
pengendalian bruselosis didukung oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan
tetapi ada di sebagian negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk
pengelolaan populasi ternak yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian,
ada beberapa prinsip yang berlaku, yaitu: 1) Pengurangan paparan Brucella sp.
dan 2) Meningkatkan perlawanan terhadap infeksi hewan dalam populasi. Prosedur
Ini selanjutnya dapat diklasifikasikan
pada kategori umum yaitu test and Isolation/slaughter, higiene
lingkungan, pengendalian lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk
menentukan status daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.
D.
Pengendalian Bruselosis
Pada Sapi Perah Di Pulau Jawa
Penanggulangan bruselosis pada sapi perah
dengan sistem test and slaughter yang telah dilakukan selama ini belum
menunjukkan hasil yang optimal. Pengendalian bruselosis dengan sistem test
and slaughter akan dapat dicapai apabila prinsip-prinsip pengendalian dilakukan
sesuai prosedur dimana semua sapi reaktor positip dipotong serta pengawasan lalulintas
yang ketat antar pulau, Propinsi, Kabupaten/ kota. Namun karena dalam pelaksanaan
sampling di lapangan belum optimal dengan adanya kendala berupa dana, sumberdaya
manusia dan waktu pelaksanaanya maka sistem tersebut kurang efektif untuk pengendalian
bruselosis.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka mulai tahun 2005,
pemerintah telah mencanangkan program pengendalian bruselosis pada sapi perah
di Pulau Jawa melalui kombinasi program vaksinasi di daerah tertular/
prevalensi >2% memakai vaksin B. Abortus RB51 dan sistem test
and slaughter pada daerah bebas bruselosis/ prevalensi <2% (Ditjennak,
2000). Sebagai dasar kebijakan pelaksanaan operasional pemberantasan bruselosis
mengacu pada SK Menteri Pertanian No 828 tahun 1998 tentang pengamatan,
pengawasan lalu-lintas, vaksinasi dan test and slaughter (potong
bersyarat).
Vaksin B. Abortus RB51 telah
ditetapkan untuk program vaksinasi pada sapi perah di Pulau Jawa. Vaksin RB51
dikembangkan sejak tahun 1991 diderivasi dari koloni B. abortus strain
2308. Vaksin B. abortus RB51 tersebut mempunyai tingkat proteksi
yang tidak berbeda dengan vaksin B. abortus S19, tidak
menimbulkan reaksi post vaksinasi seperti abortus dan antibodi yang dihasilkan
tidak terdeteksi dengan uji serologis standar Rose Bengal Test dan Complement
Fixation Test, sehingga tidak mengacaukan diagnosis dengan infeksi bruselosis
secara alami. Uji lapang tentang keamanan vaksin B. abortus RB51 pada
sapi perah telah dilakukan oleh Balai Besar Veteriner Wates di daerah Cisarua.
Hasil uji lapang menunjukkan bahwa vaksin B. abortus RB51 tidak
menyebabkan reaksi klinispasca vaksinasi seperti anafilaksis, arthritis, demam
tnggi dan penurunan nafsu makan. Selain itu vaksin B. abortus RB51 tidak
menyebabkan reaksi positip palsu seperti halnya pada vaksinasi dengan strain
S19 (Noor 2006).
Vaksinasi bruselosis dengan vaksin B.
abortus RB51 akan dilakukan pada daerah dengan prevalensi penyakit
>2%, dimana vaksin akan diberikan ke semua sapi perah baik
yang tidak terinfeksi maupun sapi reaktor. Saat ini program vaksinasi
dengan vaksin B. abortus RB51 telah dilakukan di propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan program pengendalian tersebut diharapkan pada tahun 2010
Pulau Jawa dapat bebas dari penyakit bruselosis.
E.
Pembebasan Suatu
Wilayah
Suatu
negara atau daerah dapat dianggap bebas bruselosis setelah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1.
Wajib melaporkan apabila ditemukan adanya hewan tersangka bruselosis
2.
Surveilans dilakukan diseluruh wilayah oleh instansi berwenang. Tingkat infeksi
atau prevalensi di wilayah tersebut tidak boleh lebih dari 0.2%
3.
Dilakukan pengujian diagnostik pada populasi hewan secara periodik
4.
Tidak dilakukan vaksinasi paling tidak selama tiga tahun terakhir
5.
Dilakukan kebijakan pemotongan pada semua hewan reaktor.
6.
Pemasukan hewan rentan bruselosis ke daerah bebas bruselosis harus berasal dari
daerah yang bebas bruselosis juga. Kondisi ini bisa diperbolehkan apabila hewan
tersebut tidak divaksinasi dan dilakukan pengujian serologi dengan hasil
negatif yang dilakukan dua kali (duplo) dengan jarak waktu 30 hari diantara
kedua pengujian. Pengujian kedua dilaksanakan 15 hari sebelum keberangkatan.
Kondisi ini dianggap tidak sah pada sapi yang baru melahirkan selama 14 hari.
Pada daerah bebas bruselosis yang telah
dinyatakan bebas dan tidak ditemukan reaktor selama 5 tahun terakhir, sistem
pengendalian diserahkan pada daerah yang bersangkutan.
BAB IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Pengendalian bruselosis pada sapi perah dengan
sistem Test and Slaughter yang telah diterapkan selama ini belum
memberikan hasil yang optimal. Oleh karena itu pengendalian bruselosis pada
sapi perah di Pulau Jawa kedepan dilakukan dengan kombinasi program vaksinasi
pada daerah tertular berat (prevalensi >2%) dengan menggunakan vaksin B.
abortus RB51 dan program test and slaughter pada daerah tertular
ringan (prevalensi <2%). Keberhasilan penanggulangan bruselosis pada sapi
perah di Pulau Jawa sangat diperlukan dukungan pemerintah, dana, sumber daya manusia
yang professional dan akan terwujud apabila diikuti dengan seluruh prosedur
yang benar serta komitmen dari seluruh aparat yang terkait dan masyarakat
peternak melalui sosialisasi program didukung dengan pengawasan lalu-lintas
ternak secara ketat.
B.
Saran
- Monitoring dan
surveilens Bruselosis di Pulau Jawa sebaiknya dilakukan secara periodik
untuk memantau perkembangan penyakit.
- Perlu dilakukan penyuluhan terhadap pelaku usaha peternakan sebagai salah satu upaya untuk pencegahan dan pengendalian penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Dirkeswan,
2004. Paper: Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Bruselosis di Indonesia khususnya
P. Jawa. Jakarta, Departemen Pertanian.
Ditjennak,
2000. Program dan Pedoman Teknis Pemberantasan Bruselosis pada Sapi Perah di Pulau
Jawa. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Jakarta, Departemen
Pertanian.
Noor,
S M, 2006. Epidemiologi dan Pengendalian Brucellosis pada Sapi Perah di
Pulau Jawa. Bogor, Balai Penelitian veteriner.
Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak
Sapi dan Kerbau. Jakarta, UI. Pres.
1 komentar:
baguus banget....
Posting Komentar